Kesulitan Air Bersih, Kisah Lain Usai Gempa di Sulawesi Tengah

  • Bagikan

PALU, harianindonesia.id – Kesulitan air bersih merupakan masalah tersendiri bagi korban gempa Sulawesi Tengah. Begitulah. Sehingga drum, jeriken, tandon air, selang, dan gerobak dorong. Sudah sebulan lebih, benda-benda tersebut selalu ada dalam jangkauan anak-anak di Perumahan Tinggede, Kelurahan Tinggede, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi.

Benda-benda itu bukan tentang permainan atau urusan tugas sekolah, tapi tentang krisis air bersih yang menggelayuti mereka sepanjang hari. Kalau sehari tak bertemu dengan alat-alat itu, tandanya tidak ada suara gemuruh mesin air yang bakal mereka dengar. Artinya, tidak ada bantuan air bersih yang dikirimkan sampai ke rumah-rumah mereka.

“Kalau mandi kami harus cari air. Satu hari satu kali saja mandi pakai satu ember. Tapi kalau hujan kami senang, mandi hujan,” kata Amir (8) salah satu anak Perumahan Tinggede.

Sudah sebulan lebih berlalu, sejak pertama kali guncangan gempa besar 7,4 SR memicu masalah baru di seantero wilayah terdampak. Tidak hanya tentang kehilangan rumah, harta benda, dan nyawa keluarga terkasih, tapi juga bermacam masalah baru. Salah satunya adalah krisis air bersih.

Peliknya lagi, masalah krisis air bersih ini tidak hanya terjadi di tenda-tenda pengungsian, tapi juga di perumahan-perumahan kecil padat penduduk di pinggiran Kabupaten Sigi, berbatasan langsung dengan Kota Palu. Di Tinggede misalnya, sebulan terakhir, satu-satunya sumber air dari keran-keran yang terhubung dengan pipa PDAM tak berfungsi. Tidak ada aliran air yang menetes.

“Kalaupun ada air, hanya ada menetes sedikit. Kalau pagi cuma sampai jam 9 ada air, tapi kecil sekali mengalirnya. Itu untuk cuci muka saja. Keran tidak menyala sudah sejak pertama gempa. Mungkin pipanya ada yang tertimbun runtuhan gempa,” tutur Riyatun (53), dikutip dari act.id, warga lain yang berbincang dengan ACTNews di salah satu lorong Perumahan Tinggede, 7 November 2018 lalu.

Riyatun mengaku hanya pasrah dan bersyukur tentang kondisinya hari ini. Meskipun krisis air bersih sudah lebih dari sebulan, ia dan suaminya, Pujono (64), selamat dari bencana gempa. “Sudah Alhamdulillah kami semua selamat. Setelah gempa kami selalu bersyukur. Kalau tidak ada air ya tidak usah menyuci. Kalau hujan ya kami batampung (menampung) air hujan untuk mandi. Kalau sedang ada uang ya kami beli air untuk cuci. Juga kalau ada bantuan air datang kami senang sekali. Terima kasih sekali,” ucap Riyatun.

Bawa air bersih ribuan liter per hari

Masih berada di Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi untuk melanjutkan fase pemulihan, Aksi Cepat Tanggap (ACT) pun merespons masalah pelik tentang air bersih. Diding Fachrudin selaku Koordinator Posko Distribusi Air Bersih ACT mengatakan, setiap hari ada ribuan liter air yang dipasok, baik untuk tenda pengungsian, maupun untuk perumahan-perumahan padat penduduk.

SIMAK JUGA :  Antisipasi Kegaduhan di Tahun Politik, Dinas ESDM Jateng Bakal Tertibkan Tambang Ilegal Secara Bertahap

“Sudah satu pekan ini, setiap harinya ribuan liter air dengan enam tandon air besar kami bawa ke lokasi paling krisis air bersih. Berpindah-pindah, termasuk di tenda pengungsian dan perumahan padat yang berlokasi di ketinggian, mereka hanya mengandalkan pipa PDAM yang belum menyala,” ujar Diding.

Salah satu lokasi distribusinya menyasar ke perumahan padat di Tinggede. Sabar (43), salah satu pengemudi mobil pengangkut air ACT, berkisah, dirinya sedih dan kesal melihat jejeran saudaranya sesama orang Sulawesi Tengah, harus bersusah payah menebus air bersih.

“Setelah gempa itu sedih sekali saya. Di Tinggede misalnya, banyak yang cari air pakai jeriken kecil dan diangkut dengan motor. Ambil air jauh. Tidak sedikit juga yang malah sengaja jual itu air. Mereka yang jual air tidak punya empati. Maka dari itu, kami bergerak terus setiap hari, bawa air bersih gratis. Satu rit kami bisa bawa 6.600 liter air di enam tandon,” kisah Sabar.

Siang itu, di ujung akhir pekan pertama November 2018, sudah sebulan lebih berlalu pascagempa, tapi beragam masalah belum mereda. Banyak kebutuhan dasar yang belum pulih, termasuk dari air bersih. Belum lagi dengan hilangnya sebagian besar pekerjaan dan penghasilan warga penyintas gempa.

Maria Bunahar (61) bercerita, untuk sekadar mandi, ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 70 ribu. Uang itu digunakan untuk menebus beberapa ember air bersih dari penjual air yang kadang berkeliling Perumahan Tinggede.

“Kita tunggu-tunggu mau beli air bersih. Tapi sampai sekarang tidak ada yang antar. Kalau memang terpaksa bisa kita beli, tapi uang juga sudah menipis. Ada yang sudah beli air tapi harus ambil jauh sekali pakai motor. Sejak gempa begini saja kondisi kami. Alhamdulillah, hari-hari terakhir ada air datang bantuan dari ACT ke perumahan kami,” tutur Maria.

Beratnya masa pemulihan setelah gempa pun dikisahkan oleh Riyatun. Ia yang menjadi perantau asal Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta mengaku sedang bernostalgia dengan kampungnya. Pasalnya di Gunungkidul pun sejak dulu terkenal dengan krisis air.

“Ya, Allah memang sedang menguji kita. Saya bilang ke suami saya, setelah gempa ini kita seperti pulang kampung. Kembali ke laptop kita sekarang. Kembali ke cerita masa lalu hidup di Gunungkidul air susah sekali,” pungkasnya. (***)

Sumber: act.id

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *