Partai Politik Korup, KPK: Kami Mendorong Didiskualifikasi dari Pemilu

  • Bagikan

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo.

JAKARTA, harianindonesia.id – Adanya korupsi di sektor politik, diduga salah satu penyebabnya akibat biaya politik yang tinggi di Indonesia. Selain itu, korupsi di sektor politik juga terjadi karena ekosistem di lingkungan internal partai yang sudah tidak sehat.

Hal itu setidaknya tercermin dari panjangnya daftar elit politik yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan hingga saat ini, KPK sudah menjerat lima tokoh saat menjabat sebagai orang nomor satu di partai politik, yakni Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali, dan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto.

Dan teranyar, Tim Satgas KPK menangkap Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy? dalam operasi tangkap tangan di Jawa Timur, pada Jumat, 15 Maret 2019.

Ketua KPK, Agus Rahardjo menuturkan, untuk membuat efek jera atau mencegah korupsi yang melibatkan partai politik, dapat dilakukan dengan mendorong dibentuk dan diberlakukannya aturan yang keras.

Dilansir dari vivacoid, menurut dia, hal ini bisa diawali dengan meningkatkan dana bantuan dari pemerintah hingga pada kondisi ideal bagi parpol menjalankan roda organisasinya. Dengan dana besar yang diberikan negara, partai politik dapat diaudit secara mendalam sehingga keuangan partai menjadi transparan.

Selain itu, lanjut Agus, partai politik yang terlibat korupsi bisa diberikan sanksi, salah satunya bisa didiskualifikasi dari kepesertaan Pemilu.

“Sehingga kami tahu betul uangnya itu untuk apa saja. Di situ juga memungkinkan kalau dia menyalahi hal-hal yang diatur dalam peraturan tadi, partai itu bisa diskualifikasi tidak ikut pemilu. Ini hal-hal yang perlu didorong ke depan,” kata Agus.?

KPK memperkirakan, dana ideal yang dikucurkan negara untuk bantuan parpol sekitar Rp20 triliun. Namun, Agus mengingatkan bantuan yang diberikan negara ini harus dibarengi dengan transparansi. BPK dapat mengaudit secara mendalam keuangan partai.

“BPK juga dapat masuk ini dipakai untuk apa saja, kemudian diberikan ke anggota, pada waktu anggota itu kampanye jadi pejabat publik berapa. Bisa masuk sedalam itu. Sehingga nanti kalau misalnya melanggar aturan yang kita dorong terjadi kemudian sanksinya bisa diskualifikasi tidak ikut pemilu,” imbuhnya.

SIMAK JUGA :  ICMI Jabar Peduli Lingkungan Hidup dan Kerusakan Alam

Dalam kesempatan ini, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina mengakui persoalan korupsi sektor politik tidak hanya mengenai DPR, tetapi juga kondisi partai politik yang tidak sehat. Untuk itu, Almas mengatakan, ICW mendorong revisi UU Partai Politik.

Menurutnya, revisi UU Parpol merupakan salah satu pintu masuk untuk mencegah korupsi di sektor politik.

“Kalau kita lihat misalnya Prolegnas kemarin, itu kan salah satunya akan revisi UU parpol tapi sampai sekarang belum dibahas. Padahal menurut kami, kalau kita serius, pemerintah dan DPR serius untuk membenahi persoalan korupsi di Indonesia salah satu yang harus dibenahi adalah parpol,” kata Almas.

Melalui revisi UU Parpol ini, ungkap Almas, dapat diatur mengenai besaran dana bantuan parpol, hingga sanksi yang tegas terhadap partai korup. ICW, terang Almas sepakat dengan KPK agar sebagian dana yang dibutuhkan partai politik dibiayai negara.

Berdasar perhitungan ICW, dana bantuan yang diberikan negara kepada parpol sebesar 30 persen dari yang dibutuhkan partai. 30 persen berasal dari anggota partai dan 40 persen lainnya berasal dari publik atau pihak ketiga.

Namun, Almas menegaskan, kenaikan besaran bantuan dana parpol tidak akan efektif mencegah korupsi jika tidak dibarengi dengan sanksi yang tegas bagi partai politik yang terlibat korupsi.

“Kenapa kami dorong revisi UU parpol, nanti bisa diatur sanksi nya. Salah satunya, ketika partai politik terbukti melakukan korupsi, atau terlibat dalam kasus korupsi, atau menggunakan uang bantuan dari negara untuk korupsi dilarang ikut pemilu pada pemilu terdekat,” ujarnya.

Almas menegaskan aturan ini sangat memungkinkan untuk diterapkan. Ini lantaran dalam UU Pilkada sudah diatur larangan terhadap partai politik mencalonkan pasangan calon pada Pilkada di daerah tertentu jika terbukti menerima mahar politik pada Pilkada sebelumnya.

“Apakah mungkin? Sangat mungkin. Di UU Pilkada sekarang ketika partai politik terbukti menerima mahar politik di Pilkada selanjutnya dilarang mencalonkan Paslon,” imbuhnya. (editor)

Sumber vivacoid

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *