Dewinta Pringgodani : Setya Novanto Jangan Membebani Presiden !

  • Bagikan

Dewinta Pringgodani, SH,MH

JAKARTA, harianindonesia.id – Tidak hadirnya Ketua DPR Setya Novanto memenuhi panggilan KPK dengan alasan harus ada izin Presiden Joko Widodo di mata pengamat hukum politik dan keamanan Rr. Dewinta Pringgodani, SH,MH adalah tidak tepat karena ketentuan izin tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana khusus.

“Saya pikir Pak Novanto tak perlu menyeret-menyeret Presiden dalam masalah hukum yang menimpa dirinya. Jangan membebani Presiden. Diperiksa KPK bukan berarti Pak Novanto bersalah. Pengadilan yang memutuskan bersalah atau tidak. Jadi hadapi saja proses hukum ini,” kata Dewinta Pringgodani kepada kabarpolisi.com Senin kemarin.

Wanita kelahiran Solo ini menyebut,
tidak tepat kalau kemudian Ketua DPR berlindung di pasal 245 UU MD3. Karena baik sebelum maupun sesudah Judicial Review (JR) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) ketentuan izin itu tidak berlaku untuk tindak pidana khusus. “Jadi tidak ada alasan bagi ketua DPR untuk mangkir dari pemeriksaan KPK,” kata Dewinta.

Dewi mengatakan, KPK berbekal UU khusus dalam menjalankan tugasnya karena itu KPK berhak memanggil pejabat publik tanpa harus melalui birokrasi perizinan yang diatur di UU MD3.

“Dalam melaksanakan tugasnya berbekal UU khusus, UU yang selama ini dipakai. Jadi walaupun belum ada UU MD3, UU KPK yang eksis sekarang juga mengatur kewenangan-kewenangan KPK, termasuk untuk memanggil para pejabat publik tanpa harus melalui birokrasi perizinan, termasuk perizinan presiden,” ujar Dewinta Pringgodani..

Dia menegaskan KPK berwenang untuk memaksa Novanto memenuhi panggilan penyidik. ” Seharusnya Pak Novanto memenuhi panggilan tersebut.”

Jika Setya Novanto tak memenuhi panggilan, KPK bisa memaksa.

“Karena dia (Novanto) melanggar kewajiban hukumnya. Tetapi menurut saya yang paling elegan adalah memenuhi panggilan itu. Jadi datang itu memberikan keterangan adalah sikap yang gentle dan memberikan contoh yang baik,” ujarnya.

SIMAK JUGA :  Jejak Yusril Ihza Mahendra: Jadi Tersangka di Era SBY, Gabung ke Jokowi dan Kini Bela Moeldoko

Tanggapan Refly Harun

Sementara itu, pakar hukum tata negara Rafly Harun juga menilai hal ini merupakan blunder yang dilakukan oleh staf kesekretariatan Jenderal DPR karena tidak membaca surat tersebut secara cermat. Dengan adanya hal tersebut, dinilai mempertontonkan hal lucu kepada publik.

“Saya kira sangat blunder dan menurut saya staf-stafnya tidak membaca ini secara cermat. Tapi terlepas dari hal itu, soal perdebatan seperti ini saya kira ketua DPR harus memberikan contoh yang baik. Saya kira publik diberikan tontonan yang membuat semua kita tertawa,” kata Refly Harun kepada Detikcom.

“Misalnya ya kejadian sakit, rangkaian-rangkaian itu membuat publik pasti akan bertanya dan tertawa. Walaupun kita tidak bisa menuduh. Tapi rangkaian peristiwa yang disajikan membuat publik bertanya-tanya dan tertawa,” sambungnya.

Setya Novanto meminta KPK izin ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) bila ingin memanggilnya. Alasan itu dipakai Novanto untuk tidak memenuhi panggilan KPK, Senin (6/11) hari ini.

Ketua DPR itu merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 76/PUU-XII/2014. Saat itu, MK mengubah izin pemeriksaan anggota MPR, DPR, dan DPD dari Majelis Kehormatan Dewan (MKD) ke tangan presiden. Namun tidak semua kejahatan yang disidik harus mendapat restu presiden terlebih dahulu. Untuk pidana khusus, penegak hukum tak perlu meminta izin presiden untuk memanggil Wakil Rakyat.

Sumber:kabarpolisi.com (Donny Magek)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *