Efektifitas Protokol Krisis 2008, Senjata Menkeu Melawan Corona

  • Bagikan

Oleh :
Yuni Yanna Fauzie)*

Jakarta,Harianindonesia.id ‐‐ Asa perekonomian Indonesia membaik usai tertekan perang dagang Amerika Serikat-China seketika sirna saat virus corona muncul dan menyebar ke berbagai negara di dunia. Jangankan target ekonomi 5,3 persen, revisinya menjadi 4,7 persen pun bisa jauh panggang dari api. Bahkan, ancaman resesi sudah di depan mata.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap skenario terburuk laju ekonomi Tanah Air bisa tertekan ke kisaran 0 persen sampai 2,5 persen pada tahun ini. Hebatnya, perubahan proyeksi secara drastis terjadi hanya dalam dua bulan terakhir.

Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) itu juga mengaku sudah mulai melakukan pemantauan kondisi ekonomi saat ini dengan Protokol Manajemen Krisis (PMK) 2008. PMK merupakan panduan langkah dan koordinasi di bawah KSSK dalam menghadapi krisis ekonomi.

PMK lahir setelah Indonesia mendapat dua kali pengalaman krisis, yaitu krisis moneter pada 1998 dan krisis keuangan pada 2008. Ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

Dalam mekanismenya, protokol ini menyoroti beberapa indikator, seperti fiskal dan surat utang serta nilai tukar rupiah, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Tak ketinggalan, bursa saham, industri keuangan non bank, dan simpanan di perbankan.

Lantas, apakah penggunaan protokol ini cukup untuk mengantisipasi tekanan ekonomi akibat pandemi virus corona?

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan sejauh ini, mau tidak mau, protokol itu memang sudah waktunya digunakan lagi. Bahkan, ia mengapresiasi langkah Sri Mulyani yang secara transparan mengumumkan hal tersebut kepada publik.

Menurutnya, hal ini tak semata-mata akan menimbulkan pandangan pesimis, namun menandakan bahwa pemerintah hadir untuk memitigasi lebih awal dampak tekanan ekonomi dari pandemi corona. Apalagi, bayang-bayang tekanan juga masih mungkin bertambah dari perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia.

“Setidaknya prepare for the worst, Sri Mulyani mengambil langkah awal untuk transparan sehingga pelaku pasar bisa bersiap, bahkan beliau jauh lebih waspada daripada Menteri Kesehatan (Terawan Agus Putranto) dalam menghadapi dampak virus corona di Indonesia,” ucap Fithra kepadaCNNIndonesia.com, Minggu (22/3).

Fithra menilai pengaktifan protokol ini pun setidaknya cukup bagi kondisi saat ini. Sebab, beberapa indikator ekonomi sudah tertekan, misalnya kurs rupiah telah menyentuh Rp16 ribu per dolar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok ke bawah 4.000.

“Meski pelemahan rupiah dan IHSG sebenarnya bukan karena fundamental, tapi sentimen. Tapi tidak ada salahnya mengaktifkan protokol ini,” imbuhnya.

Sementara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai protokol ini tidak cukup. Pasalnya, situasi yang dihadapi Indonesia saat ini kemungkinan akan jauh lebih berat dari krisis keuangan 2008.

“Krisis 2008 itu lebih ke AS karena subprime mortgage(KPR macet), sekarang multifaktor, belum selesai efek dari perang dagang, ditambah virus corona, dan ada tambahan perang minyak, jadi protokol harus diupdate,” katanya.

Menurut Bhima, dampak krisis keuangan 2008 di dalam negeri setidaknya hanya berat ke sektor keuangan. Sementara tekanan ekonomi saat ini sangat luas sampai ke roda industri.

“Sehingga ada potensi gagal bayar dan ledakan NPL (rasio kredit bermasalah) di bank. Bahkan, kalau waktu itu stress test KSSK menyebut dolar AS bisa menyentuh Rp20 ribu, ini Rp16 ribu saja rasanya sudah sangat menekan,” tuturnya.

Untuk itu, ia menilai pemerintah, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam KSSK perlu lebih serius melihat kondisi ekonomi saat ini. Begitu pula dalam menelurkan kebijakan guna mengantisipasi dampak dari pandemi corona.

SIMAK JUGA :  Menunggu Sentuhan Patriotisme Ekonomi Jenderal Fakhrizal

Skenario Terburuk

Bersamaan dengan skenario terburuk pertumbuhan ekonomi dari Sri Mulyani, Bhima melihat bila hal itu terjadi, industri manufaktur yang akan menjadi bom bagi ekonomi nasional. Sebab, industri ini memiliki kontribusi yang besar dan jumlah pekerja yang banyak.

Maka dari itu, wajib bagi pemerintah untuk mengantisipasi dampak ke industri manufaktur lebih dulu. Saat ini, pemerintah memang setidaknya sudah memberikan stimulus berupa gratis pungutan Pajak Penghasilan (PPh) bagi pekerja manufaktur selama enam bulan ke depan.

Namun, menurutnya hal ini tidak cukup. Pemerintah, katanya, perlu kembali memberi insentif, misalnya memberi subsidi listrik agar industri bisa efisiensi, sehingga tidak langsung mengorbankan pekerja. Misalnya, dengan mengambil langkah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Pasalnya, bila PHK dilakukan, akan sangat berpengaruh pada tingkat pengangguran di Indonesia. Target tingkat pengangguran sekitar 5 persen kemungkinan bakal meleset.

“Sangat mungkin naik menjadi 7 persen sampai 8 persen bila pemerintah tidak bisa antisipasi, apalagi ketika pertumbuhan ekonomi mendekati 0 persen dan laju industri minus,” ujarnya.

Kurs rupiah juga bisa terus tertahan di kisaran Rp16 ribu sampai Rp16.500 per dolar AS bila kondisi ekonomi saat ini mendekati skenario terburuk ala Sri Mulyani. Sedangkan, IHSG bukan tidak mungkin menyentuh level di bawah 3.800.

“Mungkin nanti akan dibutuhkan trading halt yang lebih banyak dan lama, misal sampai dua pekan, tidak menutup kemungkinan juga untuk lockdown marketseperti Manila untuk mengurangi kerentanan keluarnya valas dari bursa,” jelasnya.

Dari proyeksi ini, Bhima melihat pemerintah sudah saatnya meniru kebijakan yang lebih konkret seperti negara-negara lain. Misalnya, Inggris yang memberikan sekitar 80 persen dari gaji kepada pekerja.

Kemudian, AS yang memberikan US$1 triliun untuk penanganan dampak ekonomi dari tekanan pandemi corona. “Apalagi jelang Ramadan, karena biasanya kebutuhan valas akan meningkat, begitu juga kebutuhan masyarakat,” ungkapnya.

Sementara Fithra berpandangan lain. Menurutnya, meski protokol krisis diaktifkan, proyeksi ekonomi Indonesia ke depan sejatinya tidak akan seburuk 2008. Sebab, masih ada celah untuk tidak mencapai skenario terburuk.

Misalnya, tingkat inflasi yang masih cukup rendah. Pada Februari lalu, inflasi setidaknya hanya 0,28 persen secara bulanan dan 2,98 persen secara tahunan.

Begitu pula dengan harga minyak mentah dunia yang berada jauh di bawah target ICP Indonesia sekitar US$63 per barel. Menurut perhitungannya, bila harga minyak dunia terus berada di kisaran US$30 per barel, maka pendapatan APBN akan turun sekitar Rp20 triliun.

“Tapi di satu sisi dana bagi hasil ke daerah akan berkurang dan saat ini Indonesia sedang net importir, sehingga bisa mengurangi tekanan APBN terhadap belanja. Ini momen yang baik juga untuk kurangi belanja subsidi dan bisa dialihkan ke insentif fiskal untuk masyarakat,” terangnya.

Di sisi lain, ia melihat potensi tekanan ekonomi dari pandemi corona sejatinya tidak akan melebihi enam bulan. Puncaknya, seperti ramalan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hanya sampai Mei 2020.

“Dalam enam bulan ini, corona memang akan menjadi market fear, sentimen, tapi bila selesai dalam enam bulan, maka pertumbuhan tidak akan sampai ke skenario terburuk,” pungkasnya. (*)

)* Wartawan CNN Indonesia

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *