Pusat Perlu Re-evaluasi Rencana Investasi di Rempang Galang, Jangan Usir Rakyat dari Tanahnya

  • Bagikan

TABA ISKANDAR

JAKARTA (Harianindonesia.id)

Seorang tokoh masyarakat Kota Batam, Taba Iskandar menegaskan pemerintah pusat perlu mengevaluasi kebijakan rencana investasi di Pulau Rempang Galang, pasca penolakan relokasi dari 16 kampung tua yang berujung demo kisruh dalam satu bulan ini.

Evaluasi itu, kata Taba, terkait dengan pemberian izin kepada PT Mega Elok Graha (MEG) anak perusahaan Tomy Winata dan kebijakan penggusuran 16 kampung tua dari rencana lahan seluas 17.000 hektar yang akan diberikan kepada Tomy Winata itu.

Menurut Taba, publik harus diberi penjelasan tentang tujuan diberikan izin lahan seluas 17.000 hektar dan mengapa pula masyarakat setempat harus dikeluarkan dari kawasan itu.

Sebab lahan tempat tinggal dan berladang dari 16 kampung tua di dalam area 17.000 itu, adalah tanah yang telah mereka tempati sejak masa kerajaan Lingga dulu.

“Pertanyaannya mengapa mereka harus dikeluarkan dari kawasan. Apakah keberadaan mereka mengganggu. Dan, mengapa pula masyarakat tidak boleh ada dalam kawasan yang dibangun?”. Tanya Taba.

Dan, satu hal perlu menjadi perhatian pusat, tegas Taba lagi, bahwa tanah yang ditempati masyarakat di 16 kampung tua itu, bukan lokasi rumah liar (Ruli) yang bisa dikosongkan BP Batam secara seketika.

“Nah dari data ini, saya memandang penting pemerintah pusat agar melakukan reevaluasi terhadap rencana investasi di kawasan Rempang itu,” paparnya.

Selain itu, dia juga menyoroti kebijakan BP Batam yang telah menyiapkan tanah untuk relokasi dari semula 200 dan 500 meter per KK. Dan kemudian akan dibangunkan rumah semi permanen seluas 45 meter persegi di luar kawasan yang akan dibangun, serta tunjangan selama proses pembangunan rumah sebesar Rp1 juta lebih setiap bulan.

Menurut Taba, pihak BP Batam dan Pemko Batam tidak mempunyai hak untuk melakukan konvensasi seperti itu. Sebab tanah di Rempang Galang bukan otoritas BP Batam, karena belum mengantongi Hak Penggunaan Lahan (HPL) dari Kementerian Agraria dan BPN.

“Status tanah di Rempang dan Batam amat berbeda. Kalau di Batam tanahnya memang sudah di PL-kan kepada pihak BP Batam. Tetapi di Rempang belum, makanya perlu kerjasama dengan Pemko Batam. Namun dalam kerjasama itu tidak boleh juga mengobankan rakyat,” ujar Taba.

SIMAK JUGA :  KADIN Sambut Positif Silaturahmi Tripartit Ketenagakerjaan atas Terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022

Taba meminta apapun yang akan dilakukan pemerintah, termasuk soal PSN sekalipun, jangan terkesan memaksakan kehendak kepada masyarakat. Dia meminta pemerintah mendiskusikan dan membicarakan dengan masyarakat terlebih dahulu.

“Negara kita sekarang bukan pemerintahan Belanda dulu. Jika ada masyarakat yang menolak lalu dijadikan alasan untuk dibunuh atau dimusnahkan. Tujuan kita membentuk negara berdaulat ini adalah untuk melindungi rakyatnya,” papar Taba.

Bukan Kawasan KWTE

Taba juga mengkonfrontir dasar hukum pemberian izin investasi terbaru kepada PT MEG berdasarkan rekomendasi DPRD Batam pada saat dirinya masih menjadi ketua pada tahun 2004 lalu.

Menurut Taba, rekomendasi yang diterbitkan DPRD Batam kepada PT MEG saat itu adalah membangun Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) di Rempang Pulau.

Tujuan dibentuk KWTE ini adalah untuk melokalisir semua kegiatan hiburan malam dan turunannya di satu tempat, seperta Sentosa Island di Spore dan Genting Island di Malaysia.

Namun izin KWTE ini tidak pernah bisa dikantongi PT MEG. Karena tidak lama setelah itu, Kapolri Jenderal Pol Sutanto melarang semua kegiatan bentuk perjudian. Maka secara hukum KWTE itu batal secara hukum.

“Nah, sekarang PT MEG akan membangun industri kaca terbesar di Rempang Galang. Sejak kapan rekomendasi DPRD Batam dipakai untuk pemberian ijin ini,” tanya Taba.

Dia mengimbau pihak BP Batam dan Pemko Batam bisa saja menjadi hamba sahaya investasi asing dan nasional di Batam. Namun dia mengingatkan agar kedua lembaga itu juga memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya.

“Jangan juga karena butuh investasi lalu secara semena mena menggusur rakyat dari tanahnya sendiri. Ini adalah negara yang berdaulat, yang harus menghormati hak hak rakyatnya sendiri,” tegas Taba lagi. (*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *