Pengamat Politik : Jangan Percaya Jokowi Berlaku Sama dengan Semua Peserta Pemilu, Sebab ada Anaknya

  • Bagikan

PENGAMAT Politik senior Ikrar Nusa Bhakti mengingatkan masyarakat untuk tidak percaya Jokowi akan berlaku sama terhadap semua kontestan Pemilu dan Pilpres 2024. Sebab ada anaknya menjadi salah satu Cawapres peserta Pilpres. Peringatan ini disampaikan Ikrar saat jadi pembicara di disuksi yang digelar Media Centre TPN Ganjar-Mahfud di Jakarta, Senin (23/10/2023). (Foto : Kredit MC TPNGM)

JAKARTA, HARIANINDONESIA.ID – Pengamat Politik Prof Ikrar Nusa Bhakti mengingatkan kepada masyarakat jangan percaya dengan perkataan Jokowi akan berlaku sama terhadap semua konstestan Pemilu 2024.

“Bagaimana bisa berlaku sama, wong anaknya ikut sebagai salah satu kontenstan Pemilu kok.” kata Ikrar Nusa Bhakti saat berbicara dalam Diskusi Media bertema MK dan Netralitas Aparat Negara 2024 yang digelar Media Center TPN Ganjar-Mahfud, di Cemara 19, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 23 Oktober 2023 malam.

Ikrar mengingatkan, masyarakat harus aware apabila Presiden Jokowi bilang akan bersikap sama semua peserta pemilu, itu belum tentu karena dalam kontestasi Pillpres kali ini ada anaknya.

“Tak heran, Kami masyarakat Madani begitu keras mengritik Jokowi. Kami bukan dari oposan. Tapi kami justru pendukung Jokowi sejak pemilu DKI hingga pilpres 2014 dan 2019,” kata mantan Duta Besar (Dubes) RI di Tunisia.

Ikrar menjelaskan, dirinya mempunyai suatu dugaan atau asumsi bahwa Jokowi akan berpihak di Pilpres 2024. Karena itu bukan orang biasa. Dia memang bukan orang parpol tapi posisi Jokowi sebagai presiden berada di atas semua parpol dan lembaga lembaga negara.

Oleh sebab itu, Ikrar menyebutkan netralitas aparat negara memang benar benar harus dijaga ketat karena situasi penyelenggaraan Pemilu kali ini membawa beban politis tinggi dalam penetapan satu satu calon wapresnya.

Pengamat Politik tiga zaman ini mengkaitkan pendapatnya dengan mengutip kalimat yang pernah dilontarkan Jokowi dan Prabowo Subianto, Sri Mulyani pada saty waktu lalu.

“Prabowo mengatakan, Ojo kesusu, Ojo grusa grusu, waktu ditanya soal cawapres. Pernyataan ini bisa disandingkan dengan pernyataan Saldi isra yang mempertanyakan, kenapa harus diputuskan buru-buru perkara batas usia capres dan cawapres. Sebetulnyakan bisa saja diputus pada tahun depan. Ditambah lagi dengan pernyataan Sri Mulyani yang mengatakan, ojo gumunan dan ojo kagetan. Berkaca dari pernyataan 3 tokoh tadi maka berarti kita harus siap dengan kejutan politik yang terjadi jelang pemilu 2024,” ujarnya.

Ikrar sempat bernostalgia dengan menyebut dirinya adalah orang yang hidup di zaman orde lama (Orla), orde baru (Orba), Orde Reformasi (Ore). Sehingga dirinya ingat betul karena mengalami pemilu zaman orba dan orde reformasi.

SIMAK JUGA :  Balas Sanksi AS,Rusia Stop Suplai Mesin Roket ' Biarkan Mereka Terbang Dengan Sapu Lidi '

“Zaman orba hasil pemilu sudah ditentukan. Buat partai A, B, C itu dapat suara berapa. Semua sudah diatur,” kata dia.

Ikrar juga menceritakan kisah sedih PDIP, dulu PDI pernah meraih suara tinggi mendekati perolehan suara Golkar. Lalu masuk Megawati ke dalam pengurusan PDI. Akibatnya angka perolehan suara PDI diubah jadi lebih kecil.

“Permainan angka angka perolehan hasil pemilu itu sudah pernah terjadi di zaman Orba,” kata dia.

Namun, kata Ikrar, pada era reformasi hampir tidak terjadi lagi penipuan suara hasil pemilu. Hal ini karena pelaksanaan pemilu dikawal ketat oleh kelompok civil society yang menjaga agar pemilu benar-berlangsung jujur dan adil.

Menurut Ikrar, kondisi saat ini dengan teknologi yang lebih canggih maka sebetulnya mudah mengawal reformasi.

Tetapi sayangnya, saat ini KPU masih juga menggunakan metode penghitungan secara manual. Hal inilah yang menyebabkan hasil pemilu menjadi lama.

Tapi, kata Ikrar, dengan mengawal proses penghitungan pemilu sudah bisa menghitung langsung perolehan suara sejak di Tempat Pemungutan Suara (Suara).

“Kalaupun ada perbedaan mungkin itu terjadi karena soal penulisan. Misal angka 8 dengan 0, atau 1 atau 7,” ucap dia.

Teritori Kemendagri

Ikrar juga memaparkan kemungkinan pemanfaatan lembaga negara untuk tujuan pemenangan calon tersebut.

Pertama, Ikrar menceritakan sejak dahulu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) adalah institusi yg memiliki teritori dari pusat, gubenur, dan bupati.

Kemudian ada korps pegawai Kemendagri, lalu ada korpri, ada juga lembaga yang punya teritorial sampai ke bawah yaitu kepolisian melalui Bhabinkamtibmas.

“Bayangkan Kalau Kemudian TNI mengerahkan personelnya hingga ke daerah hingga Bhabinsa.” paparnya.

Maka, kata dia, Kalau presiden bilang ke satu pasangan bantu Paslon itu maka bisa jadi berabe.

“Selain TNI Polri, juga perlu dijaga dan dicermati lembaga seperti BSSN maka bisa aja lembaga ini ditake down. Saya berharap polri, TNI, BIN, Kemendagri, BSSN itu benar bener netral,” kata dia.

Ditambahkan Ikrar, Panglima TNI dari AU kemungkinan tidak main teritorial tapi kalau panglima TNI dari TNI AD maka bisa dipakai karena punya teritorial. Itu dipakai di zaman orba, dulu.

Mudah-mudahan aparat lebih menempatkan dirinya jadi aparatur negara ketimbang aparat kekuasaan. Karena mereka dibayar digaji pakai uang rakyat. Mereka bukan digaji pakai uang oleh presiden.

“Harap lebih pro ke rakyat ketimbang pro kekuasaan atau keluarga kekuasaan,” pungkasnya berharap.(*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *