Covid-19, Fatwa MUI dan Logika Beragama

  • Bagikan

Oleh : Wardas Tanjung)*

Serangan corona virus desease 19 (Covid – 19) di Indonnesia sudah sampai pada level membahayakan. Angka terkonfirmasi positif terus bertambah dari hari ke hari.

Tapi satu hal yang menyedihkan adalah fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) nomor 14/2020 (di Sumatera Barat ditindaklanjuti dengan Maklumat dan Taushiyyah MUI Sumbar nomor 005/2020) yang berisi pelarangan sementara pelaksanaan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat zuhur di rumah masing-masing, masih ada dari warga masyarakat yang tidak mematuhinya .

Fatwa MUI ini diterbitkan dengan terlebih dahulu menerima masukan dari para ahli kesehatan dan pakar epidemologi tentang bahaya covid-19 dan cara penularannya. Setelah itu para ulama mengkaji kemudharatan dan kemanfaatan, mendiskusikan dalil-dalil naqli yang ada, baik dari Alquran, hadits, maupun menganalisis kejadian kejadian masa lalu.

Tokoh-tokoh ulama yang duduk di MUI (khususnya di Komisi fatwa) itu tidak orang sembarangan. Mereka adalah orang orang yang sudah sangat teruji dari segi kualifikasi pnguasaan ilmu agama, baik karena pendidikan yang dilalui maupun pengalaman.

Apalagi fatwa yang ditetapkan berkaitan dengan masalah hukum syar’i ; dosa dan pahala. Jadi fatwanya jelas bukan bagaimana maunya MUI, tapi apa hukum yang tepat secara syar’i untuk menghadapi kejadian yang sangat luar biasa tersebut.

Saya dapat kabar, ada diantara anggota MUI itu yang menangis dalam proses penetapan fatwa tersebut, karena batinnya merasa amat sedih. Akan tetapi karena hukum yang harus ditetapkan memang demikian, maka diapun menerimanya.

Artinya, di sini terjadi perdebatan antara hati (rasa/batin) dengan logika keilmuan. Sebagai orang berilmu dan paham untuk apa agama itu bagi manusia, maka dia patuh dan berpihak kepada ilmu/logika, bukan pada perasaan.

Sikap Umat terhadap Fatwa

Sedikitnya ada dua kelompok dalam masyarakat yang terbentuk pasca diterbitkannya fatwa MUI tersebut yaitu pertama, kelompok yang menerima dan kedua, kelompok yang menolak. Secara kasat mata, di Kota Padang kelompok pertama lebih banyak dibanding kelompok kedua.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat dapat menerima fatwa MUI untuk tidak melaksanakan shalat jumat dan menggantinya dengan shalat zuhur di rumah masing-masing.

Kepatuhan ini, tentu karena mereka memahami akibat yang (bisa) lebih fatal jika shalat jumat tetap dilaksanakan.

Kontak fisik antar orang dalam masjid sangat tidak mungkin terelakan. Tidak seorangpun bisa menjamin bahwa dia aman dari covid-19 dan tidak seorang pun pula tahu bahwa dia carrier sehingga persenggolan antar orang dalam masjid tidak menutup kemungkinan terjadinya penularan.

Apalagi bila diantara jamaah ada yang sakit, batuk atau bersin dan dia tidak pakai masker, dipastikan droplatnya akan menimpa teman di sebelahnya.

Sekaitan hal tersebut saya ingin mengatakan, bahwa orang orang yang mematuhi fatwa MUI adalah mereka yang menggunakan logika dalam beragama. Secara batiniah, saya kira mereka sangat berat hati juga untuk tidak sahalat jumat. Namun karena mereka mendahulukan logika dan ilmu dalam beragama, maka rasa (batin) bisa mereka abaikan dulu.

SIMAK JUGA :  Ramal Saleh, Kadin Sumbar, SK-244 dan Etika Moral Berorganisasi Usaha

Ada saatnya rasa harus didahulukan dalam beragama, misalnya saat kita menyantuni orang orang miskin, menyayangi anak yatim atau membantu orang orang yang dalam keadaan berutang. Di sini logika justru dikesampingkan, rasa yang harus dikedepankan.

Dalam kondisi darurat seperti sekarang, dimana serangan covid-19 tidak mengenal status sosial, pangkat, jabatan, ras, taat, ingkar, ateis, musyrik, mukmin, muslim, muhsin, dokter, perawat, orang biasa atau luar biasa, semuanya bisa terpapar dan menjadi korban. Oleh karenanya upaya upaya antisipasi untuk pencegahan penularannya harus didahulukan dari menimbang rasa.

Barangkali berbeda dengan kelompok kedua, yaitu yang tetap melaksanakan shalat jumat. Menurut mereka, soal mati sudah ada ketentuan Allah; jika ajal telah tiba kematian itu pasti datang (with or with not corona). Karena itu ketakutan kepada corona tidak boleh melebihi ketakutan kepada Allah. Jangan karena corona shalat jumat ditiadakan.

Di satu pihak pemahaman mereka tentang kematian sudah benar. Namun di pihak lain pemahaman mereka tentang wabah ini harus dipertajam.

Bahwa kematian karena terpapar corona punya efek yang luar biasa, berbeda jauh misalnya dengan kematian karena penyakit jantung, gagal ginjal, kecelakaan dan lain lain.

Kematian dengan sebab sebab demikian boleh dikata berakhir sampai di situ. Tapi kematian karena positif corona, justru buntutnya sangat panjang; korban bisa berjatuhan lebih banyak lagi.

Tim medis atau tim dari gugus tugas harus menelusuri tracing korban; siapa saja anggota keluarganya, dengan siapa dia pernah kontak sebelumnya, di mana saja, kapan, dan seterusnya, sehingga orang orang tersebut harus dicatat sebagai ODP, PDP, carrier dst, yang selanjutnya mereka harus diisolasi minimal 14 hari.

Telah kita saksikan betapa rumit dan komplitnya masalah yang menyertai seseorang diketahui positif corona, apalagi sampai meninggal. Jadi ini bukan sekedar soal kematian, tetapi soal bagaimana menghadapi wabah.

Di sini lah peran logika/ilmu dalam beragama sangat diperlukan. Oleh sebab itu umat mestinya sami’na wa atha’na terhadap fatwa ulama. Fatwa ulama dibuat bukan untuk kepentingan pemerintah, melainkan untuk menyelamatkan nyawa manusia. Patuh terhadap fatwa ulama sama artinya kita telah berperan dalam mengatasi dan mencegah penularan covid-19.
Dan tidak mematuhi fatwa ulama sama artinya membuat persoalan baru yang akibatnya bisa lebih buruk lagi.

Sebagai penutup saya ingin menyarankan kepada MUI dan pemerintah setempat, agar melakukan intervensi lebih lanjut kepada kelompok kedua ini dan memberikan pemahaman tentang mata rantai efek covid-19 bagi masyarakat luas.

Mendekati mereka jauh lebih baik dari membiarkan kemungkinan terjadinya penularan secara massal di rumah ibadah. Wallahu a’lam bis sawab

)* Ketua Harian LPTQ Kota Padang

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *