ANALISIS : Tambal Sulam Penanganan Corona di Indonesia

  • Bagikan

Jakarta, Harianindonesia.id ‐‐ Kasus positif covid-19 di Indonesia terus bertambah. Beberapa daerah telah ditetapkan sebagai zona merah virus corona, meski tak diketahui berapa jumlahnya. Begitu pula dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tak jelas parameter keberhasilannya.

Merujuk penjelasan dari tiap daerah, penetapan zona merah didasarkan pada jumlah kasus positif covid-19 yang berada di wilayah tersebut. Meski demikian, tak ada parameter pasti tentang penetapan suatu daerah sebagai zona merah.

Ketidakjelasan parameter daerah sebagai zona merah ini pun menuai kritik. Anggota Komisi IX DPR fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay menilai, pemerintah tak punya indikator suatu daerah bisa disebut sebagai zona merah. Tak ada pedoman pasti berapa banyak jumlah kasus positif yang dapat menjadi standar penetapan zona merah. 

Sedangkan tiap daerah memiliki jumlah kasus positif yang berbeda-beda. Sebut saja Jawa Barat yang pada Maret lalu memiliki tujuh zona merah penyebaran covid-19. Per 27 April, jumlah kasus positif covid-19 di Jabar mencapai 907 kasus. Sementara Kalimantan Barat yang memiliki 51 kasus positif juga masuk kategori zona merah. 

Tak cuma perkara zona merah. Parameter keberhasilan PSBB juga dinilai tak jelas. Di Jakarta, penerapan PSBB tahap pertama ternyata tak cukup mampu menekan jumlah kasus positif covid-19. 

Pada 10 April atau hari pertama penerapan PSBB, jumlah positif terinfeksi covid-19 di Jakarta sebanyak 1.810 kasus. Hingga akhir pelaksanaan PSBB fase pertama atau 23 April, kasus positif di Jakarta justru melonjak hingga 3.506 kasus.

Tim Pakar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono menilai, ketidakjelasan parameter berbagai kebijakan itu tak lepas dari ketiadaan sikap pemerintah merumuskan rencana aksi nasional atau national plan of action dalam strategi penanganan covid-19.

“Sampai sekarang saya belum pernah melihat rencana aksinya. Ini kan harus dibuat, disusun, bagaimana mengatasi perang dengan virus. Harus punya strategi dengan baik, harus punya juga target kapan mau mengakhiri, kalau tidak, ya kerjanya dari hari ke hari tambal sulam saja,” ucap Pandu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (27/4). 

Gugus tugas yang dipimpin Kepala BNPB Doni Monardo dinilai Pandu minim peran dalam menyusun strategi penanganan covid-19. Pasalnya, gugus tugas memang hanya pelaksana dengan strategi yang tetap disusun oleh pemerintah. 

“Jadi gugus tugas kan memang pelaksana tugasnya, yang memikirkan strategi, ya pemerintah. Padahal kita tahu tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah,” katanya. 

Dalam penerapan kebijakan PSBB misalnya, menurut Pandu, merupakan salah satu strategi pemerintah yang mestinya efektif untuk menekan laju penyebaran covid-19. Namun indikator keberhasilan PSBB hingga saat ini tak jelas. 

Pandu mengatakan, indikator keberhasilan PSBB mestinya dapat diukur dengan pengumpulan data kuantitatif yang diperoleh dari pengamatan di lapangan. Misalnya persentase kerumunan orang, persentase orang yang bekerja di rumah, persentase orang yang menggunakan masker, dan sebagainya. Apabila pelanggaran masih tinggi, artinya penerapan PSBB itu tak berjalan efektif. 

“Kami sudah usulkan bagaimana mengukur orang selama PSBB, misal dengan melihat proporsi penduduk berapa banyak yang stay at home, kemudian persentase titik kerumunan yang dipantau, kemudian persentase warga keluar pakai masker. Itu indikator yang bisa dimanfaatkan,” terangnya. 

Namun selama ini indikator tersebut tak terukur dengan jelas. Padahal dalam penerapan kebijakan, menurut Pandu, harus ada kuantifikasi jelas agar berjalan maksimal. Hal ini pula yang menyebabkan penerapan PSBB tak berdampak signifikan pada jumlah kasus positif di Jakarta, meski belakangan diklaim melambat. 

SIMAK JUGA :  Persaingan Prabowo, Ganjar, dan Anies Jadi Bahan Kuliah di Kelas

“Padahal kan strateginya sudah ada pilihan PSBB, tapi kita tidak punya strategi monitoring implementasi. Jadi memang ada masalah di manajemen penanggulangan respons. Sementara masyarakat butuh kepastian, dunia bisnis juga butuh kepastian,” tuturnya. 

Terkait penetapan zona merah, Pandu justru berbeda pendapat. Ia menilai tak perlu ada penetapan zona merah yang berbeda-beda di tiap daerah. Sebab, semua daerah di Indonesia saat ini sebenarnya sudah masuk kategori zona merah mengingat kasus positif covid-19 yang sudah ada di tiap daerah di Indonesia. 

Bahkan, menurutnya, berdasarkan keterangan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penularan covid-19 di Indonesia sudah termasuk community transmission atau penularan yang sudah tidak dapat dilacak lagi sumbernya. 
“Jadi semua wilayah (zona) merah, semua wilayah berisiko. Virus itu tidak mengenal zona,” ucapnya. 

Sementara itu, pengamat Kebijakan Publik Universitas Padjajaran Yogi Suprayogi menilai pemerintah memang tak memiliki standar tetap dalam menerapkan sejumlah kebijakan, termasuk penentuan zona merah suatu daerah. Hal ini menunjukkan kesulitan pemerintah dalam mengimplementasikan aturan di lapangan. 

Juru bicara pemerintah khusus penanganan covid-19 Achmad Yurianto sempat menjelaskan, penentuan zona merah mengacu pada kajian epidemiologi atau kadar penularannya. Apabila sebaran makin luas dan penularan banyak terjadi secara lokal, maka daerah tersebut berpotensi ditetapkan sebagai zona merah. 

Kendati demikian, Yurianto menyatakan pemerintah tidak menggunakan istilah zona merah dalam menentukan suatu wilayah. Karena itu, dia tidak bisa menyebutkan berapa kota kini masuk kategori zona merah virus corona. Terminologi yang dipakai, kata Yurianto, adalah PSBB.

“Tidak ada terminologi zona merah,” kata Yuri melalui pesan WhatsApp, Selasa (28/4).

Namun, menurut Yogi, pemerintah sejatinya telah mengatur kajian epidemiologi dalam Peraturan Menteri Kesehatan bagi wilayah yang ingin menerapkan PSBB. Beleid itu mestinya dapat pula menjadi pedoman dalam menetapkan suatu daerah sebagai zona merah. 

“Pemerintah dalam strategi kebijakannya itu sudah benar, tapi implementasinya kadang yang berbeda. Ini diperburuk dengan koordinasi pusat dengan daerah yang sering tidak padu,” katanya. 

Selain itu koordinasi data yang dikantongi pemerintah pusat dan daerah juga kerap kali berbeda. Hal ini yang semakin menyulitkan pemerintah dalam mengukur keberhasilan kebijakan yang dijalankan. 

Padahal jika dibandingkan negara lain, Yogi menilai berbagai kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia sudah tepat. “Menurut saya enggak ada negara lain yang kebijakannya seperti Indonesia. Italia, AS, bahkan lebih buruk, baru belakangan ini saja ada beberapa kebijakan pencegahan. Tapi memang kita lemah implementasinya,” ucap Yogi. 

Sementara terkait gugus tugas, Yogi mengakui bahwa gugus tugas minim peran dalam membuat kebijakan karena hanya bertanggung jawab untuk menjalankan. Apalagi gugus tugas merupakan organisasi ad hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan jika penanganan covid-19 telah selesai. 

“Isinya orang-orang pejabat yang bukan teknis sehingga banyak kebijakan yang masih umum. Dia tidak membuat kebijakan tapi menjalankan saja jadi ya keberadaannya memang sering dianggap tidak efektif,” ujarnya.

(Awe/CNNIndonesiacom)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *