Surat Gubernur Sumbar Mahyeldi adalah Permintaan Memaksa, Jatuhnya Korupsi

  • Bagikan

PADANG – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Andalas Prof Elwi Danil menegaskan bahwa surat Gubernur Sumbar Mahyeldi untuk pembiayaan penerbitan buku profil Sumbar, bersifat memaksa dan itu yang menjadikannya sebagai perbuatan korupsi.

“Tentu saja ini punya implikasi hukum tentang korupsi. Dalam hukum tindak pidana, ini sering disebut sebagai permintaan memaksa oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara,” kata Elwi Danil kepada wartawan, Senin (23/8/2021) di Padang.

Menurut Elwi Danil, tindak pidana korupsi dalam bentuk permintaan memaksa ini dijelaskan dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia menilai surat tersebut termasuk paksaan.

“Keterpaksaan yang dimaksud dalam pasal ini bukan berupa memaksa secara fisik, tapi adalah keterpaduan psikis. Dalam KUHP asli dikenal dengan sebutan ‘knavelarji’ dan tadinya diatur dalam pasal 423 KUHP yang kemudian diambil alih pengaturannya oleh UU Korupsi, sehingga menjadi terkategori sebagai tindak pidana korupsi,” jelas Elwi.

“Tanpa bermaksud mendahului proses yang dilakukan polisi, saya melihat, ketentuan dalam pasal 12 huruf e itu seyogianya bisa diarahkan,” sambungnya.

Berikut ini bunyi pasal 12 huruf e:

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Dia mengatakan si pemberi bantuan harus terbukti memberi terpaksa secara psikis memenuhi keinginan atau permintaan sesuai dengan surat yang ditandatangani Gubernur Sumbar. Dia menilai ada unsur paksaan dalam surat itu meski disebut sebagai permintaan sumbangan.

“Walaupun modusnya minta bantuan, namun ada unsur keterpaksaan di sana. Karena ditandatangani Gubernur, maka berat bagi pihak yang menjadi alamat surat pengajuan untuk menolak. Sudah cukup apabila si pemberi bantuan mengatakan bahwa dia menjadi tidak enak dengan Gubernur kalau tidak ikut membantu,” katanya.

Jika pemberi bantuan tak mengaku terpaksa, katanya, si pemberi bisa dinilai sebagai pihak yang memberi gratifikasi. Menurutnya, hal itu diatur dalam Pasal 13 UU Tipikor. Berikut ini bunyi pasal 13:

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000

SIMAK JUGA :  Piaman Laweh Harus Satukan Suara untuk Satu Sumbar, Iqbal Allan : Jaga Kekosongan Kepemimpinan

“Tak elok seorang Gubernur membuat surat seperti itu, apalagi surat di luar kedinasan untuk membantu satu pihak. Kekeliruannya di sana,” tutur Elwi.

Surat Permintaan Sumbangan Diteken Gubernur Sumbar
Surat yang menjadi polemik itu bernomor 005/3984/V/Bappeda-2021 tertanggal 12 Mei 2021 tentang Penerbitan Profil dan Potensi Provinsi Sumatera Barat.

“Sehubungan dengan tingginya kebutuhan informasi terkait dengan pengembangan, potensi dan peluang investasi di Provinsi Sumatera Barat oleh para pemangku kepentingan, maka akan dilakukan penyebarluasan dan pemenuhan kebutuhan informasi tersebut dengan menerbitkan buku Profil ‘Sumatera Barat Provinsi Madani, Unggul dan Berkelanjutan’ dalam versi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris serta Bahasa Arab serta dalam bentuk softcopy,” demikian tertulis dalam surat tersebut seperti dirilis detikcom.

“Diharapkan kesediaan Saudara untuk dapat berpartisipasi dan kontribusi dalam mensponsori penyusunan dan penerbitan buku tersebut,” lanjut surat yang juga dibubuhi stempel resmi Gubernur Sumbar.

Polisi sebenarnya sempat mengamankan lima orang yang membawa surat ini karena diduga melakukan penipuan. Namun belakangan, surat ini ternyata asli. Polisi mengungkap ada duit Rp 170 juta yang telah terkumpul dan masuk ke rekening pribadi, namun tak menyebut rekening siapa.

“Uang dikirim ke rekening pribadi. Itu yang menimbulkan kecurigaan, sehingga ada pihak yang melaporkan kepada kami. Lagi pula mereka membawa surat berlogo Gubernur, tapi bukan ASN atau tenaga honorer di pemda. Berbekal surat itulah mereka mendatangi para pengusaha, kampus dan pihak-pihak lainnya untuk mencari uang,” kata Kasat Reskrim Polresta Padang Kompol Rico Fernanda kepada wartawan, Jumat (20/8).

PKS Buka Suara

PKS telah buka suara soal surat dari kadernya itu. PKS mengaku tak menyiapkan pembelaan, karena sedang fokus pada program penanganan dampak COVID-19.

“Dalam satu bulan ini PKS Sumbar sedang fokus melaksanakan program kegiatan partai yang menjadi gerakan nasional, yakni gerakan pembagian 1 Juta masker dan pembagian 1,7 juta sembako untuk keluarga masyarakat terpapar COVID-19,” kata Sekretaris DPW PKS Sumbar, Rahmat Saleh, kepada wartawan, Senin (23/8).

Mahyeldi sendiri merupakan Ketua PKS Sumbar. Rahmat mengatakan PKS tak punya waktu merespons isu yang menurutnya dialamatkan kepada Mahyeldi.

“Energi dan pikiran kami di DPW PKS Sumbar tersita untuk menyukseskan 2 agenda gerakan sosial tersebut, dan tidak terlalu respons terhadap isu yang dialamatkan kepada Pak Gubernur Sumbar,” tutur Rahmat. (*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *