SYAFRIAWATI Alias Bundo Wati
JAKARTA – Seorang aktifis Perempuan Indonesia Syafriawati atau lebih dikenal dengan panggilan Bundo Wati memandang kejahatan KDRT sebagai ancaman permanen bagi perempuan.
“Oleh sebab itu, pelakunya harus dihukum berat dan wajib ditahan. Sebab pelaku KDRT cenderung bersifat berulang. Sebab itu, pelakunya harus ditahan supaya tidak mengancam keselamatan korbannya lebih lanjut,” kata Bundo Wati dalam satu diskusi dengan wartawan senior Awaluddin Awe di Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Mantan atlit sepeda terkenal dari Sumatera Barat, kini mendedikasikan waktunya untuk pembelaan kaum perempuan di Jakarta, dimintakan pendapatnya terkait aksi KDRT yang menimpa Marta Emelia Uli Pandjaitan.
Marta terkena KDRT oleh suaminya sendiri Sahala Sitompul. Marta kemudian melaporkan Sahala ke Polda Riau, dan kini Sahala sudah ditahan.
Selain karena kasus KDRT. Sahala juga dilaporkan Marta dalam kasus pemalsuan tandatangan Marta di akte perusahaan dimana Marta adalah pemilik saham disana.
Tetapi oleh Sahala jumlah saham Marta dikuranginya, pada saat perubahan akte perusahaan. Disinilah tanda tangan Marta dipalsukan oleh Sahala.
Bundo Wati mengemukakan bahwa apapun motifnya kekerasan dalam rumah tangga adalah satu pelanggaran hukum tertutup di rumah tangga. Pelakunya merasa nyaman jika sang istri tidak melapor kepada polisi.
Dalam kaitan ini, Bundo Wati memandang kasus KDRT adalah kejahatan berat karena merendahkan harkat dan martabat perempuan, sekaligus mengancam keselamatan istri.
Oleh sebab itu, Bundo Wati menegaskan pelaku KDRT harus mendapatkan hukuman berat dan wajib ditahan. Sebab, jika tidak, maka pelanggaran KDRT akan terus berlanjut dan orang tidak tau sudah separah apakah tindakan KDRT yang dilakukan oleh suami.
Bundo juga mengemukakan pelaku KDRT saat menjalani hukuman wajib mendapatkan bimbingan konseling dari Psikolog, supaya setelah keluar dari masa tahanan bisa mengendalikan diri saat ada masalah dengan istrinya.
“Pesan yang ingin saya sampaikan, setiap keluarga pasti ada masalah, tetapi jangan pernah melakukan KDRT. Sebab kaum perempuan berhak mendapatkan kepastian keamanan di dalam rumah tangganya,” tegas Bundo Wati.
Aktifis perempuan asal Padang Pariaman, Sumatera Barat ini memberikan dukungan moral kepada Marta untuk tetap teguh mempertahankan kasusnya di Polda Riau supaya tetap terus dilanjutkan.
Sebaliknya, kepada Kapolda Riau Bundo Wati juga meminta agar kasus Martha ini mendapatkan prioritas untuk diproses supaya pelakunya cepat mendapatkan hukuman berat.
Dia juga meminta pihak Kejaksaan Riau untuk memberikan prioritas terhadap proses penyidikan kasus ini di Polda Riau, sekaligus membuat ancaman hukuman maksimal bagi pelakunya.
“Saya berharap kita bisa memulai memberikan perhatian kasus KDRT dari kasus bu Martha ini, supaya kalangan suami bisa belajar dari kasus ini untuk tidak melakukan pelanggaran yang sama,” pungkas wanita yang masih terlihat cantik di usia tua ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kepolisian Daerah Riau melakukan penahanan terhadap seorang pria bernama Sahala Sitompul atas dugaan KDRT dan sekaligus dugaan pemalsuan tandatangan atas nama Marta Emelia Uli Pandjaitan.
Marta melaporkan Sahala Sitompul kepada Polda Riau karena telah melakukan tindakan KDRT atas dirinya sendiri selaku istri terlapor.
Marta juga melaporkan Sahala atas dugaan pemalsuan tanda tangannya di akta perusahaan.
Dalam kasus pemalsuan tandatangan Sahala secara sepihak mengubah komposisi kepemilikan saham Martha di dalam perusahaan tersebut.
“Saya melaporkan tindakan KDRT dan pemalsuan tandatangan oleh Sahala Sitompul ke Polda Riau. Dan sekarang tersangka sudah ditahan oleh aparat,” ujar Martha menjelaskan kepada wartawan, Selasa (30/10/2025).
Penahanan Sahala oleh Polda Riau mendapatkan apresiasi dari Kuasa hukum Marta Emelia Uli Pandjaitan, Firman SH.
Menurutnya penahanan ini merupakan langkah penting untuk menegakkan keadilan dan memastikan tidak ada intervensi terhadap proses hukum.
“Langkah Polda Riau patut diapresiasi karena sudah merespons laporan dengan cepat dan profesional. Hal ini memberikan pesan bahwa hukum harus berjalan tanpa pandang bulu,” katanya, Jakarta, Senin (29/9/2025) seperti dikutip TVOne News.com
Firman menjelaskan kasus dugaan KDRT yang dilaporkan Marta juga masuk dalam tindak pidana khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ia menekankan bahwa perlindungan terhadap korban KDRT adalah mandat konstitusional sekaligus komitmen negara dalam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).
Sementara itu, pengamat hukum, Teuku Afriadi juga memberikan apresiasi kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Riau yang turut mengawal proses hukum kasus ini.
Menurutnya koordinasi antara penyidik Polda Riau dan Jaksa Penuntut Umum sangat penting untuk memastikan berkas perkara dapat segera lengkap (P-21) sehingga kasus bisa segera dilimpahkan ke pengadilan.
“Peran Kejati Riau dalam melakukan supervisi dan pengawasan penanganan perkara juga patut diapresiasi, karena hal ini menunjukkan sinergi aparat penegak hukum yang baik,” katanya.
“Penahanan Sahala Sitompul tidak hanya bentuk penegakan hukum, tetapi juga perlindungan terhadap korban agar tidak kembali mengalami tekanan maupun intimidasi. Aparat harus menjaga transparansi proses hukum sehingga kepercayaan masyarakat terhadap Polri maupun Kejaksaan semakin kuat,” pungkasnya. (*)
Rika Octavia











