DUNIA  

Re – Reading Landscape

HARIANINDONESIA.ID – Re – reading Lanscape atau membaca kembali pemandangan alam adalah sebuah projek seni rupa yang di gagas oleh sekumpulan perupa Sumatera Barat yang di beri nama Komunitas Ruang. Komunitas Ruang adalah kelompok perupa non formal yang bergerak dalam pengembangan karya – karya seni rupa dan penguatan eksistensi dan fungsi seni rupa dalam lingkup kehidupan sosial budaya masyarakat, melalui program –program berkarya bersama, workshop, pameran dan beberapa program edukasi lainnya.

Projek seni rupa re –reading Landscape merupakan gerakan untuk membedah kembali objek pemandangan alam, khususnya pemandangan-pemandangan yang memiliki nilai- nilai ikonik baik dari sisi histori maupun estetik yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk kegiatan Art Camp dan melukis bersama dengan bahasa visual masing –masing para perupa pesertanya. Untuk kegiatan kali ini Komunitas Ruang memilih Ngarai Sianok, khususnya Bukik Takuruang ataupun Tabiang Takuruang menjadi objeknya. Pemilihan Ngarai Sianok tidak terlepas dari nilai – nilai histori ataupun estetika visual dari Ngarai Sianok itu sendiri.

Ngarai Sianok adalah bentangan alam yang memanjang dan berkelok – kelok dari selatan Ngarai Koto Gadang hingga ke Nagari Sianok Anam Suku dan berakhir di Palupuah merupakan objek primadona bagi seniman-seniman naturalistic sejak dulu. Lekukan lembah, sungai, hamparan sawah, tebing-tebing tinggi dengan latar belakang gunung Singgalang adalah pemandangan yang sangat elok dan menarik untuk dipindahkan keatas kanvas. Ngarai Sianok yang terbentuk oleh aktivitas pergerakan lempeng tektonik punya daya tarik visual yang sangat kuat, sehingga siapapun yang menyaksikan keindahannya akan menjadikan kawasan ini sebagai sumber inspirasi.

Ngarai Sianok telah menjadi objek lukisan bagi hampir seluruh pelukis naturalis di Sumatra Barat. Bahkan para pelukis dari luar Sumatra Barat pun ikut mengabadikannya. Salah satunya C. Deeleman yang sampai saat ini masih dianggap pelukis yang mengabdikan Ngarai Sianok diatas kanvasnya sebagai karya tertua (dibuat pada tahun 1817). Menarik memperhatikan bahwa corak yang dibangun Deeleman adalah kombinasi antara naturalistik dengan romantic. Ciri romantik pada karya Deeleman terlihat dari permainan warna oranye yang mendominasi bidang kanvasnya, memberikan efek emosional yang mendalam terhadap Ngarai Sianok sebagai objek lukisan.

Ngarai Sianok pun pernah dilukis oleh Basuki Abdullah pada tahun 1960-an, yang kemudian dijadikan koleksi istana ketika masa Bung Karno. Pada tahun yang sama pelukis Dullah juga membuat karya yang bertajuk Ngarai, dikoleksi oleh Adam Malik (mantan Wabpres). Agaknya Ngarai Sianok sebagai sebuah objek garapan, bagi pelukis naturalistik Sumatra Barat merupakan “kawah candradimuka”, pusat pengodokan untuk mendapat “Brevet” kepiawaiannya. Sebagai bentuk uji kemampuaan bersinergi dengan alam, dan kemampuaan mengolah mata batin, yang melahirkan adanya legitimasi dari khalayak secara tidak formal.

Pelukis Minangkabau atau Sumatera Barat yang memulai memperkenalkan Ngarai Sianok bisa dikatakan adalah Wakidi, lukisan-lukisannya yang bertajuk Ngarai Sianok telah banyak dikoleksi penikmat seni rupa, baik didalam maupun luar negeri. Pada masa – masa terakhirnya, Wakidi membuat sebuah lukisan dengan tajuk Ngarai Sianok pada tahun 1979, karya yang tak pernah sempat dirampungkannya. Wsaat ini karya tersebut disimpan di Galeri Nasional Indonesia [ GNI ] Jakarta. Lukisan ini seakan menjadi pesan berawal dari Ngarai dan berakhir di Ngarai, ada sosok kesejatian yang konsisten dengan icon Sumatra Barat ini.

SIMAK JUGA :  Melalui Dana Pokir, Bakal Direhab 98 Rumah Tak Layak Huni di Kota Padang

Cinta sejatinya pada Ngarai Sianok telah membuat Wakidi tetap bertahan di Sumatra Barat meski telah menerima berbagai tawaran untuk menduduki posisi penting di pemerintahan pada masa Presiden Soekarno. Generasi kedua yang kerap menjadikan Ngarai sianok sebagai objek lukisannya tercatat beberapa nama, diantaranya Syamsulbahar (1913-1994), Sabirin, Nurdin, dan beberapa pelukis lainnya.

Wakidi, “Lembah Ngarai”, 1977
120 x 200 cm, cat minyak diatas kanvas
Program pertama Komunitas Ruang dalam bentuk melukis bersama telah dilaksanakan pada tanggal 29 – 30 Oktober 2024 yang lalu di lingkungan INS Kayutanam dengan mengambil tema Re-capturing nature. Kegiatan pertama tersebut berkesempatan dikunjungi oleh Menteri Kebudayaan RI Bapak Fadli Zon, M.Sc beserta kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat beserta rombongan. Dipilihnya lingkungan INS Kayutanam sebagai tempat pelaksanaan program komunitas Ruang tidak terlepas dari aspek histori ruang pendidik INS Kayutanam dalam kontribusinya terhadap perkembangan kesenian, khususnya seni rupa di Sumatera Barat.

Program berikutnya juga dilaksanakan ditempat yang sama pada tanggal 30 November – 1 Desember 2025 dengan tema Exploring Objects. Kegiatan tersebut mengikutsertakan beberapa mahasiswa Prodi Seni Rupa UNP, khususnya mata kuliah Seni lukis dan mahasiswa ISI Padang Panjang.

Melukis bersama dan Art camp dalam projek Re – reading Lanscape di Ngarai Takuruang Nagari Sianok Anam Suku akan diikuti oleh sekitar 30 orang perupa Sumatera Barat lintas generasi. Para pelukis yang akan berpartisipasi diantaranya Asnam Rasyid, Herisman Tojes, Amrianis, Zirwen Hazry, Nasrul Palapa, Alberto, Erlangga, Irwandi, Hendra Sardi, Muhammad Ridwan, Firdaus, Yasrul Sami BB, Hamzah, Ferdian Odira Asa, Imam Teguh, Jon Wahid, Jhon Hardi, Alexis, Trikora, Romi Armon, Boy Nistil, Z. Mukhlis, Eddy Waldi, Ipang, Zoel Manix dan nama lainnya. Tentunya akan sangat menarik menunggu seperti apa nantinya karya – karya dari para peserta kegiatan ini.

Mengingat para perupa yang berpartisipasi memiliki gaya dan bahasa visual yang berbeda –beda dan pada umumnya mereka adalah generasi kontemporer yang berkembang saat ini pada ranah seni rupa Sumatera Barat.
Namun yang pasti kegiatan ini menjadi wadah silaturahmi untuk berinteraksi, berbagi pengetahuan dan pengalaman serta pengembangan bakat dan kemampuan berkarya seni rupa. Keelokan Ngarai Sianok sebagai anugerah ilahi menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering dari masa ke masa. Rasa syukur akan hal itu dikelola di ruang rasa, ruang logika dan ruang etetika serta psikomotorik, sehingga menjadi karya yang presentatif dan bermakna untuk hidup dan kehidupan.*

*Donny Magek Piliang*