Refly Harun di Padang Panjang: KPK tak Bisa Fokus di Pencegahan Korupsi

  • Bagikan

Refly Harun usai diskusi berpose bersama Wako Padang Panjang Fadly Amran dan Kapolres AKBP sugeng Hariyadi serta Forkompimda Padang Panjang (foto: kom/fz)

PADANGPANJANG, Harianindonesia.id- Pakar hukum Tata Negara Dr. Refly Harun, SH, MH, LLM, tampil sebagai narasumber di Padang Panjang. Dia menyebut KPK memang tidak bisa mengambil peran pencegahan korupsi tetapi lebih kepada penindakan.

Pernyataan itu disampaikan Refly Harun pada menit menit terakhir pada Diskusi aktual dengan tema Mewujudkan Tata Kelola Pemerintah yang baik dan Bebas Korupsi Kolusi Nepotisme di Kota Padang Panjang, (23/9).


Diskusi ini yang dipandu Dr Syahril MM ini dihadiri Walikota Padang Panjang H. Fadly Amran BBA yang juga sebagai inisiator diskusi. Diskusi dilaksanakan di Pendopo Rumah Walikota Padang Panjang, dihadiri Sekdako Sonny Budaya Putra, Kapolres AKBP Sugeng Hariyadi, S.I.k,MH, Dandim, Dan Secata B, Dan Brimob Sumbar, serta para Kepala Dinas dan jajarannya se Kota Padang Panjang.

Fadly Amran dalam pengantar diskusi menjelaskan bahwa pemerintahannya berniat dijalankan secara transparan dan memenuhi persyaratan akuntibilitas bebas KKN melalui sebuah moto, Kota Pintar, Kecil dan Berintegritas.

“Makanya saya berniat mengundang abang Refly Harun untuk berdiskusi dengan jajaran Pemko Padang, dalam kaitan mencari formula tata kelola pemerintahan yang bebas KKN,” ujar Fadly Amran.

Orientasi KPK, Penindakan.

Tetapi Refly Harun dalam paparannya lebih dominan membahas KPK dan problema terkininya. Dalam kaitan posisioning KPK ke depan, Refly memang lebih sependapat KPK lebih berorientasi kepada penindakan bukan pencegahan.

“Peran pencegahan sebaiknya diambil alih oleh Presiden dan jajarannya sampai ke bawah yakni gubernur, bupati dan walikota. Sebab merekalah yang lebih paham dalam mencermati proses terjadinya tindakan korupsi,” ujar Komut PT Pelindo ini.

Sama halnya dengan pemimpin di luar negeri, kata Refly merekalah yang lebih didepan dalam melakukan pencegahan tindak pidana korupsi.

“Jadi KPK fokus saja kepada penindakan korupsi. Dengan demikian tugas tugas KPK lebih efektif,” kata Pakar Tata Negara asal Palembang tersebut.

Namun fungsi penindakan itu puun saat ini sedang mengalami uji coba yang sangat berat sebagai akibat perubahan Rancangan UU No 32 Tahun 2019 tentang Pemberantasan Korupsi atau yang disebut juga sebagai UU KPK.

SIMAK JUGA :  Lagi, KMG Lahirkan Kabariau.com dan Kabarjateng.online

Rancangan UU KPK yang banyak disorot publik ini karena terkesan dipaksakan oleh pemerintah,  dalam pandangan Refly Harun memiliki sejumlah kelemahan mendasar yang menjadi titik lemah independensi KPK.

Pertama, KPK tidak lagi menjadi lembaga tertinggi yang independen, yang sebelumnya disebut juga antibody, tetapi di dalam Rancangan UU KPK sudah dibawah kekuasaan eksekutif.

Dalam perfekstif ini pimpinan KPK, kata Refly Harun tidak lagi seleluasa sebelumnya dalam pengungkapan kasus korupsi yang dilakukan pejabat pemerintah dan legislatif ataupun pengusaha.

Termasuk dalam mekanisme penyadapan yang menjadi spesialisasi KPK dalam OTT, KPK tidak bisa leluasa lagi. Tetapi harus mendapat persetujuan lebih dahulu dari pihak eksekutif.

Kedua, di dalam Rancangan UU KPK, status pegawainya tidak lagi bebas seperti sekarang tetapi diubah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Tetapi dalam konteks ini Refly Harun ragu apakah status pegawai KPK ini sama seperti pegawai negeri atau PPPK.

Nah dengan status ASN ini, kata Refly Harun, akan muncul kesulitan bagi KPK dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, terutama yang pangkatnya lebih tinggi dari pemeriksa.

Ketiga, adanya mekanisme Surat Perintah Penghentian Pemeriksaan Perkara atau SP3. Dengan adanya pasal ini, kata Refly Harun, dikuatirkan sejumlah kasus besar seperti kasus BLBI dapat dihentikan proses pemeriksaannya.

Selama ini, ujar Refly Harun, kasus yang ditangani kpk tidak bisa di SP3 karena KPK dapat menetapkan status tersangka pada saat proses penyelidikan. “Jadi begitu ditahan, status tersangka sudah otomatis, tidak bisa lagi di SP3kan. Meski kemudian diajukan kasasi tersangka tetap kalah,” ujar Refly.

Keempat, adanya lembaga Dewan Pengawas yang secara otomatis menjadi alat pembunuh KPK. Dewan Pengawas ini tidak hanya menyidangkan kasus etik pimpinan tetapi juga sampai kepada tingkat staf KPK.

“Itulah sejumlah alasan mengapa publik dengan tugas menolak pemberlakuan RUU tentang KPK yang baru. Sebab jika UU berlaku maka trust KPK sebagai lembaga independen sudah tidak ada lagi, dan upaya penindakan kasus korupsi sudah berakhir,” ujar Refly Harun sembari mengatakan upaya pelemahan KPK ini sebagai kontrak politik Pilpres (awe)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *