Mantan Gubernur Sumbar Letjen TNI (Purn) Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman Berpulang

  • Bagikan

Almarhum Letjen TNI (Purn) Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman saat bersama Basril Djabar (foto : Dok)

JAKARTA (Harianindonesia.id) – Mantan Gubernur Sumbar, Menhub dan Menko Kesra era Presiden Soeharto, Ir H Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman, telah berpulang kerahmatullah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Minggu (5/3/2023) sekitar pukul 11.42 WIB.

Kabar kepergian mantan Gubernur Sumbar era 1977-1987 pengganti Gubernur Harun Zain disampaikan oleh putra putri almarhum melalui berbagai WA Grup di Sumbar dan Jakarta :

Assalamualaikum Warrahmatulahi Wabarakatuh

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun

Telah berpulang ke Rahmatullah

Letjen TNI (Purn.) Ir. H. Azwar Anas Dt. Rajo Suleman bin Anas

Pada hari Minggu, 5 Maret 2023, pada pukul 11.42 WIB, di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Mohon doa agar Almarhum ditempatkan di sisi terbaik Allah SWT dalam keadaan husnul khatimah.

Aamiin YaRabbal Alamiin.

Kami anak-anak yang berduka:
1. Ari Irsyad Riyadi dan keluarga
2. Roy Irza Farabi dan keluarga
3. Rony Pahlawan dan keluarga
4. Maya Devita dan keluarga (*)

Suami almarhum Uni Jus, putri asal Lubuk Alung ini sebelum berpulang sudah sempat dirawat beberapa kali, terakhir di RSPAD Gatot Subroto ini. Namun karena penyakit tuanya, Peraih Penghargaan Prasamya Purna Nugraha ini akhirnya dipanggil Allah SWT dalam keadaan koma.

Letnan Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Ir. H. Azwar Anas gelar Datuak Rajo Suleman (lahir 2 Agustus 1933) adalah seorang tentara, birokrat, politikus dan administrator sepak bola Indonesia. Ketua Majelis Pembina Pusat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) ini pernah dipercaya sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Pembangunan VI (1993–1998) setelah menjabat sebagai Menteri Perhubungan Indonesia pada Kabinet Pembangunan V (1988–1993). Sebelumnya ia menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat selama dua periode (1977–1987).

Kehidupan awal

Azwar Anas lahir pada 2 Agustus 1931 di Padang, yang ketika itu merupakan bagian dari Keresidenan Sumatra Barat, Hindia Belanda. Ia adalah anak ketiga dari pasangan Anas Malik Sutan Masabumi (ayah) dan Rakena Anas (ibu), yang memiliki sepuluh orang anak.

Ayahnya yang masih memiliki garis keturunan dengan Raja Pagaruyung terakhir, yakni Sutan Bagagarsyah, bekerja sebagai kepala perbengkelan kereta api di Simpang Haru, Padang, sementara ibunya yang hanya tamatan SD berasal dari Koto Sani, Solok.

Sebelum menikah dengan ibunya, ayahnya telah memperoleh seorang anak dari istri pertama yang kemudian diceraikannya, tetapi kehidupan mereka tetap ditanggung oleh ayahnya meskipun telah bercerai. Ayahnya adalah putera dari Malik anak dari Soetan Oesman gelar Soetan Lerang seorang pengusaha terkenal pada masanya.

Sejak kecil, ia dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran Islam dengan didikan ayah yang berwatak keras tetapi disiplin dan didampingi ibu yang senantiasa mengayomi dan memberikan nasihat akan pentingnya agama dan tanggung jawab.

Ia menghabiskan masa kecilnya bersama keluarganya di Mato Aie dalam sebuah rumah yang dibangun di pinggang bukit di tepi Jalan Raya Padang–Teluk Bayur.

Tidak seperti kebanyakan anak ambtenaar (pegawai pemerintah Hindia Belanda), ia bersama kakak dan adiknya tidak dimasukkan ke sekolah-sekolah Belanda, melainkan dimasukkan ke HIS Adabiyah School, sebuah sekolah agama yang didirikan oleh Abdullah Ahmad pada tahun 1909.

Ketika masih berusia kanak-kanak, ia sempat menggeluti beberapa pekerjaan untuk membantu meringankan ekonomi keluarganya yang sedang sulit pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Ia pernah berdagang kayu untuk kemudian dijual ke pasar Kampung Jawa dan berjualan ikan, bahkan sebelumnya ia juga pernah berjaja pisang goreng di Mato Aie setiap pagi. Di tengah kesulitan ekonomi keluarganya, setelah tamat dari HIS Adabiyah, ia masih bisa meneruskan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi; ia masuk ke sekolah bentukan Jepang yang disebut Chu Gakko.

Masa awal kemerdekaan

Berita diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 baru disebarluaskan ke Padang oleh Muhammad Sjafei sekitar akhir bulan Agustus.
Namun, pada 10 Oktober 1945 tentara Sekutu, yang semula ditugaskan untuk melucuti serdadu Jepang dan mengambil para tawanan Jepang, telah merapat ke pelabuhan Teluk Bayur dan kedatangan ini dicurigai oleh para pemuda di Padang karena diikuti oleh tentara Belanda.

Kecurigaan ini ternyata benar sehingga ketegangan mulai meningkat di Padang. Kantor-kantor pemerintahan di Padang mulai dipindahkan ke luar kota, termasuk kantor tempat ayah dari Azwar Anas bekerja dipindahkan ke Kayu Tanam sehingga keluarganya kemudian pindah ke tempat itu sedangkan ia dan adiknya yang bernama Akil tetap menetap di Padang.

Namun karena Padang dirasakan tidak aman lagi setelah pembunuhan Bagindo Azizchan oleh tentara Belanda, ia dan adiknya menyusul keluarganya yang ternyata telah berpindah ke Bukittinggi. Di kota berhawa sejuk itu, ia tetap meneruskan sekolahnya; ia dimasukkan ke SMP Negeri 1 Bukittinggi, tetapi kemudian pindah ke SMP Negeri 3 Bukittinggi. Setelah tamat, ia masuk ke SMA Negeri 1 Bukittinggi.[9]

Tidak lama setelah ibu kota Indonesia di Yogyakarta diduduki oleh Belanda, Syafruddin Prawiranegara bersama tokoh Minangkabau lainnya membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.

Pada saat itu, ketika berlangsungnya Agresi Militer Belanda II, keluarganya pindah ke Barulak, Tanah Datar, kemudian setelah gencatan senjata diberlakukan di Sumatra Barat pada 19 Agustus 1948, keluarganya kembali pindah ke Padang.

Di Padang, ia bersekolah di SMA Permindo (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tamat pada tahun 1951. Setamat SMA, ia berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi di Jawa, karena pada saat itu di Sumatra Barat belum ada perguruan tinggi yang sesuai dengan keinginannya. Oleh sebab itu, dalam suatu perundingan dengan keluarganya, ia menyampaikan keputusannya untuk merantau ke Jakarta.

Merantau

Sesampai di Jakarta, sambil mencari pekerjaan, ia menumpang sementara waktu di rumah salah seorang kerabatnya. Setelah memperoleh informasi dari salah seorang temannya tentang lowongan pekerjaaan pegawai Balai Penyelidikan Kimia di Bogor, ia langsung melamarnya.

Pada awalnya ia hanya berkerja sebagai petugas kebersihan di sebuah laboratorium yang dikepalai oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Ir. Nyhold, kemudian dalam tahun-tahun berikutnya, ia menjadi asisten seorang insinyur bernama Ir. Dufont setelah membantunya membangun sebuah laboratorium di Burangrang, Bandung.

Sambil bekerja, ia juga memperoleh beasiswa dari Departemen Perindustrian saat itu untuk mengikuti pendidikan kimia di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).

Setelah sekitar dua tahun mengikuti kuliah di ITB, prestasi akademisnya mulai menurun. Pada saat itu ia memutuskan untuk kembali ke Padang untuk menemui orang tuanya di Mato Aie dan meminta izin menikahi seorang gadis di Bandung.

Namun keinginannya ini ternyata tidak disetujui oleh kedua orang tuanya. Ibunya justru menangis sewaktu ia meminta izin menikahi seorang gadis yang bukan Minang. Sebaliknya, ibunya mengajukan calon lain yang sudah disiapkannya sendiri sejak lama, yakni Djusmeini.

Pada 12 Juli 1957, ia akhirnya menikah dengan Djusmeini, yang ketika itu berumur 23 tahun. Setelah pernikahan dilangsungkan di Lubuk Alung, ia bersama istrinya kemudian pindah ke Bandung. Sesampai di Bandung, ia tetap melanjutkan kuliahnya di ITB sampai tamat.

Pendidikan militer

Semula berencana menjadi dosen tetap di almamaternya, pada 1959 Anas bersama ratusan sarjana diperintahkan mengikuti wajib militer oleh pemerintah menyusul diberlakukannya status keadaan bahaya darurat perang. Ia menjalani latihan pendidikan militer di Sekolah Perwira Cadangan (Sepacad) di Bogor selama enam bulan hingga 1960.

Ia lulus dan dilantik Presiden Soekarno sebagai letnan satu dalam upacara militer di Bogor. Para lulusan diberi dua pilihan yaitu aktif masuk militer atau kembali ke pekerjaan semula. Azwar memilih untuk bergabung dengan militer.

Karier militer

Azwar ditempatkan di Pabrik Alat Peralatan Angkatan Darat (Pabal AD) sebagai Kepala Dinas A. Setahun berikutnya, Pabal AD berganti nama menjadi Pusat Industri Angkatan Darat (Pindad).

Jabatan Azwar berganti nama menjadi Kepala Bagian 5 Dinas Laboratorium Pindad. Pada 1962, Azwar naik pangkat menjadi kapten dan lima tahun selanjutnya ia berpangkat mayor corps peralatan (CPL).

Pada 1964, Azwar dipromosikan menjadi Asisten Umum Operasi Karya Pindad.[23] Pada tahun itu, Pindad mengirimnya untuk mengikuti Kursus Peroketan Pindad. Ia terlibat dalam eksperimen pembuatan roket Achmad Yani 1 dan 2 yang diluncurkan dari Pameungpeuk, Garut.

Kemudian, ia mengikuti serangkaian kursus calon perwira menengah yaitu Kursus Latihan Perwira (Suslapa) Angkatan Darat di Cimahi dari 1967 hingga 1968, Upgrading Staf Kekaryaan Daerah (Skarda) C pada 1971, dan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) dari 1971 hingga 1973.

Pada 1967, Mayor Azwar Anas diangkat sebagai Direktur PT. Purna Sadhana Pindad, anak perusahaan Pindad dalam bidang industri sipil. Ia didampingi oleh Direktur Produksi Kapten Ir. Yuwono, Direktur Marketing Kapten Siddiq, S.H., dan Direktur Perusahaan Drs. Suparman. Karena ketiadaan dana, perusahaan itu mengajukan kredit pinjaman tanpa jaminan kepada Bank Bumi Daya sebesar Rp500 juta.

Hal ini dilakukan tanpa dilaporkan kepada Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) sebagai otoritas Pindad. Asisten II Kepala SUAD Jenderal Hartono menegur Azwar dengan keras lalu kasus ini dibawa ke persidangan. Kasus ini terbilang baru saat itu dan akhirnya Hartono menerimanya.

PT Purna Sadhana Pindad berkegiatan dalam bisnis perbengkelan untuk jasa dan pembuatan barang-barang dan mesin untuk produksi. Pelanggan mereka adalah pabrik-pabrik semen seperti Semen Padang dan Semen Gresik. Jumlah karyawan perusahaan itu ada 8.000 orang dan sebagian besarnya ahli dalam bidang perbengkelan, tidak dalam produksi. Azwar merekrut teknisi baru untuk meningkatkan potensi perusahaan.

Azwar turun ke lapangan dan mengetahui kegiatan perusahaan secara detail sejak perencanaan hingga pemasaran. Ia bersama Direktur Pemasaran Abubakar Siddik Prawiranegara langsung datang menaiki kapal ke Pulau Singkep, Pulau Bangka, dan Pulau Belitung untuk mengidentifikasi mesin timah yang akan diperbaiki Purna Sadhana Pindad.

Pada 11 Juli 1970, Azwar memimpin pameran alat-alat pertanian produksi Pindad di Gedung Bina Graha, Jakarta. Presiden Soeharto sangat antusias dengan pameran tersebut.

Azwar sering diminta memberikan ceramah agama di masjid-masjid Bandung. Ia ikut andil mendirikan Masjid Salman ITB. Ia juga intens membangun komunikasi dengan perantau Minang di kota itu.

Direktur Semen Padang

Gubernur Sumatra Barat Harun Zain memanggil Azwar pulang kampung halaman dengan menjadi Direktur PN Semen Padang. Kala itu Sumatra Barat porak-poranda akibat penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Harun Zain memanggil para sarjana Minang di perantauan untuk pulang kembali membangun Sumatra Barat.

Kolonel Azwar Anas mulai memimpin Semen Padang dalam keadaan sekarat. Ia membenahi keadaan fisik pabrik dan merehabilitasi mental para karyawan melalui dakwah Islam. Ia berhasil membangkitkan perusahaan itu menjadi BUMN terkemuka di bawah Departemen Perindustrian.

Karier pemerintahan

Potret resmi Azwar Anas sebagai Gubernur Sunatra Barat untuk periode kedua.
Keberhasilan Azwar Anas membuat ia dikenal oleh rakyat sehingga ia terpilih dalam pemilihan Gubernur Sumatra Barat Oktober 1977 menggantikan Harun Zain.

Ia tercatat sebagai perwira militer pertama yang memegang jabatan Gubernur Sumatra Barat. Ia menjabat gubernur selama dua periode hingga 1987. Pada 1986, ia pensiun dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan pangkat terakhir mayor jenderal TNI.

Seusai menjabat gubernur, pada 1988 Presiden Soeharto mengangkatnya menjadi Menteri Perhubungan dalam Kabinet Pembangunan V. Pada 1991, ia dipercaya menjadi Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) hingga 1999. Masa itu PSSI berhasil mengadakan kompetisi Ligina, gabungan perserikatan, dan Galatama.

Pada 1993, Azwar diangkat menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dalam Kabinet Pembangunan VI. Tak lama kemudian ia bersama Soesilo Soedarman menerima kenaikan pangkat bersejarah menjadi letnan jenderal TNI purnawirawan.

Kehidupan pribadi

Dari pernikahan dengan Djusmeini, Azwar memiliki lima orang anak. Anak pertamanya Ria Prima Pusparini meninggal pada 10 November 1971 dalam kecelakaan pesawat Merpati yang juga ditumpangi oleh seniman Huriah Adam.

Anak-anak berikutnya bernama Ary Irsyad Riadi, Roy Irza Farabi, Ronny Pahlawan, dan Maya Devita. Keempat anak itu lulusan Amerika Serikat. Djusmeini meninggal dunia di Bandung pada 16 Desember 2009. Ronny Pahlawan menikahi calon istrinya di depan jenazah ibunya sebelum dimakamkan.

Penghargaan

Satyalancana Penegak
Satyalancana Kesetiaan VIII
Satyalancana Pembangunan dari Presiden Republik Indonesia (1974)
Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Republik Indonesia (1986)
Bintang Mahaputera Adipradana dari Presiden Republik Indonesia (1992)
MY-NEG Order of Loyalty to Negeri Sembilan.svg Dato’ Seri Utama dari Yang di-Pertuan Besar Negeri Sembilan, Malaysia, Tuanku Ja’afar (*)

dari berbagai sumber
Editor : Awaluddin Awe

SIMAK JUGA :  Mahfud Ungkap Modus Cuci Uang, Bangun Hotel hingga Judi di Luar Negeri
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *