Singapura Bisa Latihan Perang di Natuna: DPR Keberatan, Prabowo Sulit Menjawab

  • Bagikan

Effendi Simbolon

Jakarta – Rapat kerja antara Komisi I DPR dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto pada Kamis (27/1/2022) mengungkap fakta kesepakatan pertahanan antara Indonesia dan Singapura. Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon mengatakan, dalam rapat itu, Prabowo sulit menjawab keberatan DPR soal dibolehkannya Singapura menggelar latihan militer di Natuna.

Menurut Effendi, mayoritas anggota Komisi I DPR mempertanyakan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA) yang di dalamnya memuat kesepakatan di mana Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna.

“Ketika kita nilai yang bagi kita keberatan, itu pemerintah sulit jawabnya. Kenapa kamu barter sama military training area? Kenapa kamu kasih kesempatan untuk melakukan exercise di wilayah udara, laut kita?” ujar Effendi usai rapat kerja tertutup dengan Prabowo, Kamis (27/1/2022).

Namun, menurut Effendi, pemerintah menjawab bahwa ada keuntungan di sektor investasi dari kesepakatan tersebut. Mengingat, Singapura adalah salah satu investor terbesar dan tetangga dekat dari Indonesia.

“Dia (Singapura) dianggap ranking tiga besar, artinya dari pemahaman yang dikembangkan oleh pemerintah bahwa kita ini kita harus baik dengan tetangga. Kemudian ya Singapura kan investor terbesar dari tiga besar, nilai-nilai plus disampaikan,” ujar Effendi.

Ia juga menyoroti pemerintah Singapura yang ‘ngotot’ membuat kesepakatan agar mereka dapat mengajukan hak menggelar latihan tempur dan perang bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna. Isi kesepakatan yang sama seperti pada 2007, yang saat itu tidak diratifikasi oleh DPR.

“Dia di mana pihak Singapura minta menggunakan military training areanya bukan hanya dia sendiri loh, dia bisa menggunakan untuk latihan bersama (negara lain) loh. Masyaallah gua bilang,” ujar Effendi.

Seusai rapat, Menhan Prabowo Subianto menjelaskan kepada wartawan bahwa kesepakatan militer dengan Singapura tidak membahayakan Indonesia.

“Sama sekali tidak (membahayakan), saya kira sudah latihan banyak negara kok dan secara tradisional mereka juga latihan di situ. Kita butuh persahabatan dengan Singapura dan kita menganggap Singapura negara sahabat kita,” jawab Prabowo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.

Prabowo mengatakan, latihan militer dan perang Singapura di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna haruslah mendapatkan izin dari pemerintah Indonesia. Isi kesepakatan yang sama dengan DCA 2007 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Intinya sama, karena memang kita istilahnya ingin mengaktualisasi,” ujar Prabowo.

SIMAK JUGA :  Pengusaha Media Bicara Wisata Halal untuk Sumbar, Haji Erick : Pasar Kita Dunia Islam

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambut baik tercapainya sejumlah kesepakatan di bidang politik, hukum, dan keamanan antara Indonesia dan Singapura. Kesepakatan tersebut antara lain pertukaran dokumen antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia dengan Menteri Senior dan Menteri Koordinator Keamanan Nasional Republik Singapura tentang Perluasan Kerangka Pembahasan Indonesia-Singapura.

Selain itu, kedua negara juga menandatangani kesepakatan terkait perjanjian ekstradisi, persetujuan Flight Information Region (FIR), dan pernyataan bersama Menteri Pertahanan kedua negara tentang komitmen untuk memberlakukan perjanjian kerja sama pertahanan.

“Untuk perjanjian ekstradisi, dalam perjanjian yang baru ini, masa retroaktif diperpanjang dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun sesuai dengan Pasal 78 KUHP,” ujar Jokowi

Pengamat militer dari Universitas Indonesia (UI), Andi Widjajanto menilai, kesepakatan yang dicapai antara Pemerintah Indonesia dan Singapura merupakan satu terobosan diplomasi yang signifikan. Namun, ia menyebut, ada beberapa pekerjaan rumah (PR) yang perlu diselesaikan oleh Indonesia, terutama menyangkut aturan teknis dari kesepakatan itu.

“Nanti PR-PR operasional untuk membuat kerangka-kerangka teknisnya yang menjadi kunci untuk ketiga kesepakatan itu,” kata Andi saat dihubungi Republika, Rabu (26/1).

Menurut Andi, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan agar kesepakatan kali ini tidak kembali mandek di DPR seperti yang sebelumnya terjadi pada 2007. Pertama, kata dia, terkait dinamika koalisi politik antara pemerintah dengan parlemen dan partai-partai politik.

“Kalau dilihat dari perkembangan satu tahun ini, mestinya koalisi politiknya kondusif untuk melakukan proses di DPR,” ujar dia.

Pertimbangan kedua, lanjutnya, tentang sensitivitas isu yang ada dalam ketiga kesepakatan tersebut. Salah satunya, dalam hal kerja sama pertahanan.

Andi menilai, Indonesia harus konsentrasi untuk menjaga wilayah-wilayah strategisnya. Sebab, dalam kesepakatan tersebut, Singapura dapat mengajukan hak menggelar latihan militer bersama negara lain di wilayah bernama area Bravo di barat daya Kepulauan Natuna.

“Karena dulu masalah military training area itu berkaitan dengan ruang udara di atas ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang strategis. Misalnya, apakah itu mau kita atur supaya kita tidak menyerahkan wilayah-wilayah strategis itu sebagai military training area untuk Singapura,” ucap Andi.

“Nah, isu-isu sensitif itu yang sudah ada sejak tahun 2007 yang betul-betul harus disiapkan, diantisipasi oleh pemerintah kalau nanti proses penuntasan regulasi turunannya mau dilakukan,” tambahnya menjelaskan.

TNI melakukan realokasi anggaran sebesar Rp 196,8 miliar untuk membantu penanganan virus Covid-19 atau corona. – (Pusat Data Republika)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *