Lebih Dekat Ganjar Pranowo, Tukar Nama Supaya Selamat dari Kesusahan (1)

  • Bagikan

FOTO Jadual Ganjar bersama bapak dan saudaranya. (Foto : screenshot tempo dan suara.com)

JAKARTA (HARIANINDINESIA.ID) –

Bakal Calon Presiden Republik Indonesia dari koalisi PDIP dan PPP H. Ganjar Pranowo, SH, M.IP ternyata memiliki pengalaman menarik dari namanya.

Awal lahir nama Ganjar ditambahkan belakangnya dengan Sungkowo. Namun saat masuk sekolah dasar, orang tua Ganjar mengganti nama belakangnya dari Sungkowo menjadi Pranowo.

Alasannya, nama asli Ganjar Sungkowo yang berarti “Ganjaran dari Kesusahan/Kesedihan (Sungkowo)”.

Penukaran nama ke Ganjar Pranowo ini, karena rasa ketakutan orang tuanya jika sang anak kelak “selalu berkubang kesialan dan kesusahan” bila memakai nama Sungkowo.

Saat Sri Suparni mengandung jabang bayi lanang, Ganjar, kondisi ekonomi mereka memang sedang sulit sulitnya. Selain itu, Sri juga mengalami hal-hal yang menyedihkan, pernah jatuh, menjelang kelahiran anaknya itu.

Kondisi inilah yang membuat sang suami, Parmudji Pramudi Wiryo, lantas menamai anaknya: “Ganjar Sungkowo”.

“Katanya nama belakang ini berhubungan dengan keadaan ketika ibu mengandungku. Saat itu keluarga kami sedang banyak dirundung kesusahan. Sungkowo sendiri memiliki arti kesedihan,” cerita Ganjar di buku novel “Anak Negeri: Kisah Masa Kecil Ganjar Pranowo” yang ditulis oleh Gatotkoco Suroso, seperti dikutip Tempo.

Nama itu disandang Ganjar hingga memasuki usia sekolah. Saat dia didaftarkan masuk sekolah dasar, orangtuanya berinisiatif untuk mengubah namanya menjadi “Ganjar Pranowo”.

Parmudji khawatir jika masih memakai nama “sungkowo”, kehidupan Ganjar kelak bisa selalu dirundung kesedihan.
Pranowo (atau Pranawa) sendiri memiliki arti hati yang terang.

Namun, soal nama ini, Ganjar pernah mengartikan secara bebas bahwa “pra” itu artinya sebelum, “nowo” berarti sembilan. “Jadi, sebelum sembilan. Saya kan anak ke-5 dari enam bersaudara,” canda Ganjar kepada TEMPO.

Masa kecil Ganjar dihabiskan di Desa Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah hingga kelas V sekolah dasar. Anak kelahiran 28 Oktober 1968 ini kemudian boyongan ke Kutoarjo, sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo, Jateng yang berjarak 179 kilometer; sebuah kota kecil di sebelah barat Yogyakarta.

Sebelum perpindahan besar itu, keluarga Ganjar pernah harus “diusir” dari rumahnya. Pengusiran ini memaksa keluarga pindah rumah ke Kecamatan Karanganyar, di ibu kota kabupaten. Ini lantaran bapaknya telah menjual rumah dan sang pemilik ingin menempatinya.

Padahal, sesuai kesepakatan, keluarga Ganjar masih diperbolehkan menghuni sampai mendapatkan rumah baru.

Kejadian pengusiran itu sangat menyayat hati Ganjar kecil. Ia melihat di depan matanya, bagaimana bapaknya beradu mulut. Sang ibu sampai menitikkan air mata. “Dalam tangisnya, ibu memberi isyarat bahwa kami tidak boleh ikut terlibat urusan orangtua. Aku sangat terpukul dengan kejadian ini,” tutur Ganjar.

Sehabis kejadian adu mulut itu, Parmudji pamit kepada istri dan anak-anaknya untuk mencari rumah kontrakan. Ia baru pulang tengah malam. Kabar baik itu akhirnya datang dan sang bapak meminta seluruh anggota keluarga esok pagi untuk bersiap-siap pindah.

Ia terpaksa berpisah jarak dengan kawan-kawan karib seperti Dowig, Joko, Kamso, dan Ngadimin. Namun, Ganjar masih bersekolah yang sama, kali ini harus ditempuh dengan naik bus. Ia berangkat bersama kakaknya, Prasetyowati Tyas Purwani (Mbak Watik) dan adiknya, Nurhidayati Agustini (Nur).
Ganjar adalah anak kelima.

Selain Mbak Watik, ia memiliki tiga kakak laki-laki, antara lain Pri Kuntadi, Pri Pambudi Teguh, Prijadi Joko Prasetyo.

Di rumah barunya, bukan tambah baik, tapi justru lebih menyedihkan. Rumah kontrakan ini berupa bangunan berdinding tripleks dan beralas tanah. Lokasinya berdekatan dengan gudang gamping.

“Kami menempati rumah ini karena tak punya pilihan lain. Uang kami tak cukup untuk menempati rumah yang bagus,” cerita Ganjar.

Ganjar sering bermain di gudang gamping, sampai-sampai rambut dan mukanya memutih. Jika sudah begitu, sang ibu menegurnya.

SIMAK JUGA :  20 Halte Transjakarta Rusak, Anies : Kerugian Mencapai 55 Milyar

Semasa sekolah dasar, Ganjar bukanlah siswa yang menonjol. “Ketika SD nilai rapornya pas-pasan,” ujar Mbak Watik dalam buku “Kontroversi Ganjar” yang ditulis oleh empat wartawan.

Yang menonjol dari Ganjar sejak kecil adalah pandai bergaul sehingga punya banyak teman. Ganjar juga memiliki pembawaan mandiri dan suka menolong.
Selama bersekolah di SD Negeri 02 Tawangmangu, teman-temannya kesengsem dengan sikapnya yang peduli, lebih-lebih paras Ganjar memang ganteng.

“Ganjar adalah idola karena ganteng,” ujar Menuk, salah satu teman SD-nya yang tinggal dekat di rumah Ganjar selama di Tawangmangu.

Sementara, Kamso, teman SD lain, menilai Ganjar sama nakalnya dengan dirinya, tapi lebih pintar. “Cah iki mbiyen mbelinge pol (anak ini dulunya nakal sekali),” kata Ganjar kala ketemu Kamso pada 2015 saat kunjunganya ke Tawangmangu dikutip dari detik.com.

Ganjar memiliki geng lima sekawan. Selain Kamso, ada Ngadimin, Joko, dan Dowig. Namun, di antara kawan karibnya, Kamso termasuk yang paling dominan; selain umurnya lebih tua dan berbadan gempal, ia sering memosisikan diri sebagai “kepala suku”.

Mereka bermain bersama seperti gundu, jepretan karet gelang hingga kenakalan-kenakalan lain, seperti menerobos pagar beduri kawasan wisata air terjun Gerojogan Sewu karena tak beli tiket.

Saat SD, bila ditanya gurunya tentang cita-citanya, Ganjar selalu bilang ingin menjadi pilot. ”Kalau kamu jadi pilot kelak Pakde ditibani (dilempari) selimut ya,” kenang Ganjar suatu kali mengulang kata-kata Pakdenya yang kedinginan sewaktu menginap di Tawangmangu. Pakdenya adalah seorang tentara dan pernah menjadi anggota DPRD Purworejo.

Memasuki SMP, Ganjar dan keluarganya pindah ke Kutoarjo untuk mengikuti tempat tugas ayahnya. Selanjutnya, ia bersekolah di SMP Negeri 1 Kutoarjo atau saat ini menjadi SMP Negeri 3 Purworejo. Lulus dari sekolah menengah pertama melanjutkann ke jenjang SLTA di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Di SMA, ia aktif dalam kegiatan kepramukaan (Dewan Ambalan).

Menjelang kelulusan SMA pada akhir dekade 1980-an, sang ayah pensiun dari kedinasannya di Polri Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, ibu Ganjar membuka warung kelontong, sementara ia sempat berjualan bensin di pinggir jalan.

Tamat SMA, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Di kampus, ia bergabung dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) serta kegiatan pecinta alam di mana ia pernah melatih untuk SMA Negeri 8 Yogyakarta dan SMA Negeri 1 Sewon, Bantul.

Selama kuliah di UGM, Ganjar mengaku sempat cuti kuliah selama dua semester akibat tidak memiliki biaya untuk perkuliahan.

Ganjar juga meraih gelar S2 (master) di jurusan Ilmu Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Ganjar mengaku memiliki hobi demonstrasi semasa kuliah. Ia pernah mendemo rektor UGM kala itu (periode 1986-1990) Koesnadi Hardjasoemantri dan ikut serta dalam demonstrasi menolak penggusuran untuk proyek Waduk Kedungombo.

Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan dosen penguji skripsi Prof. Nindyo Pramono. Tamat kuliah, Ganjar Pranowo awalnya bekerja di lembaga konsultan HRD di Jakarta yaitu PT Prakasa.

Selain itu, ia juga pernah bekerja di PT Prastawana Karya Samitra dan PT Semeru Realindo Inti. Aktif di GMNI dan mengagumi Soekarno, Ganjar awalnya menjadi simpatisan PDI. Tahun 1996, PDI dilanda konflik internal antara pendukung Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri sebagai representasi trah Bung Karno.

Ganjar ikut mendukung Megawati, meskipun ayahnya adalah seorang polisi sedangkan kakaknya seorang hakim yang oleh Orba seluruh pejabat publik dilarang berpolitik dan harus mendukung Golkar sepenuhnya.

Ganjar akhirnya memilih berkarier di politik lewat Partai PDI-P yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri. (Bersambung)

Awaluddin Awe, dari berbagai sumber

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *