Jawab Tudingan PDIP Gerakkan Akademisi Kampus, Hasto: Mana Ada Kampus Bisa Diintervensi

  • Bagikan

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memberikan penjelasan kepada wartawan terkait tudingan PDIP dibalik aksi gerakan tokoh intelektual diberbagai kampus di Indonesia, di Kantor PDIP Jalan Diponegoro Jakarta, Senin (5/2/2024). (Foto : TPNGM)

Jakarta – HARIANINDONESIA.ID :

Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa para akademisi dan kampus tidak bisa diintervensi dalam hal apapun.

Seruan para guru besar dan kampus terkait kondisi demokrasi saat ini jelang Pemilu 14 Februari mendatang adalah murni suara dari rakyat.

Hal itu disampaikan Hasto menjawab pertanyaan media soal tudingan bahwa ada dugaan intervensi PDIP terhadap para akademisi dan kampus untuk menyerukan kritik terhadap kondisi demokrasi di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini.

“Mana ada kampus bisa diintervensi,” tegas Hasto menjawab wartawan saat konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Senin (5/2/2024). Turut mendampingi, politisi muda PDIP Aryo Seno Bagaskoro.

Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud ini meyakini bahwa seruan para akademisi dan kampus-kampus yang menyebar luas saat ini merupakan gerakan kebenaran.

Apalagi, Hasto menyebut jika para akademisi dan kampus-kampus punya keyakinan tersendiri dalam menyikap persoalan bangsa.

Dia pun menduga, jika ada tudingan gerakan tersebut ada yang mendalangi, maka justru akan semakin membesarkan gelombang seruan para akademisi dan kampus-kampus soal kondisi demokrasi.

“Mereka memperjuangkan kebenaran. Mereka punya dalil-dalil yang ditaati dan mereka punya integritas. Sehingga kalau dari kelompok 02 Prabowo-Gibran tim pemenangannya memberikan pernyataan seperti itu, kami yakini bahwa akan semakin banyak kampus yang bergerak. Harusnya otokritik saja dan melakukan koreksi-koreksi,” ungkap Hasto.

“Pak Hasto saja tidak bisa melawan gerakan mahasiswa. Itu yang kita harapkan, dan ini merupakan seruan moral, seruan moral itu efektif. Suatu gerakan damai, suatu gerakan tanpa kekerasan, gerakan menyuarakan pranata kehidupan berbangsa yang baik. Harusnya itu dilakukan,” sambung dia.

Hasto pun menegaskan kembali, jika PDIP tak berkepentingan di dalam melakukan mobilisasi kampus-kampus tersebut.

“Karena itu sama saja mengerdilkan. Diantaranya otoritas di perguruan tinggi yang begitu independen,” tegasnya.

Dia pun mengulas bagaimana partai berlambang banteng moncong putih ini sangat taat pada aturan yang berlaku di kampus. Terutama terkait dengan kampanye.

“Kami kampanye di kampus aja taat aturan, harus melalui undangan, lalu kami datang. Untuk mengundang ketiga paslon saja ada prosedurnya. Jadi tidak pernah ada pemikiran sedikitpun bagi kami untuk melakukan hal tersebut. Ini murni muncul suara rakyat,” pungkas Hasto.

Seperti diketahui, sejumlah akademisi Universitas Gadjah Mada menyampaikan Petisi Bulaksumur sebagai bentuk keprihatinan terhadap dinamika perpolitikan nasional dan pelanggaran prinsip demokrasi menjelang pemilu 2024.

Petisi ini dibacakan oleh Guru Besar Fakultas Fakultas Psikologi, Prof. Drs. Koentjoro didampingi oleh sejumlah puluhan Guru Besar, akademisi, alumni dan aktivis BEM KM UGM, di Balairung Gedung Pusat UGM, Rabu (31/1/2024).

Koentjoro mengatakan petisi dari civitas akademika Universitas Gadjah Mada disampaikan setelah mencermati dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan dan keadilan sosial.

“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari Keluarga Besar Universitas Gadjah Mada. Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan dan pernyataan kontradiktif Presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi,” katanya seperti dikutip dari website resmi UGM.

Koentjoro mengingatkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai alumni UGM, tetap berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dengan turut memperkuat demokratisasi agar berjalan sesuai dengan standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah.

SIMAK JUGA :  Tiga Jenderal Kupas Wawasan Kebangsaan : Moeldoko, Mamato, Langie

Setelah Universitas Gadjah Mada, giliran sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) menyampaikan pernyataan sikap “Indonesia Darurat Kenegarawanan”.

Selanjutnya menyusul sejumlah akademisi dari Universitas Indonesia (UI) serta puluhan kampus lainnya yang turut menyampaikan kritikan terhadap Jokowi.

Cermin Buruknya Demokrasi

Pada kesempatan yang sama Hasto Kristiyanto membeberkan 4 point utama yang menjadi sorotannya terkait kondisi politik saat ini jelang H-9 hari pencoblosan pada 14 Februari 2024, mendatang.

Pertama, Hasto mengatakan bahwa dinamika politik nasional pasca mundurnya Prof Mahfud MD sebagai Menko Polhukam diwarnai oleh gerakan pro demokrasi yang semakin kuat, seruan moral dan seruan kebenaran di dalam politik.

Di mana, seruan untuk menjadikan rakyat sebagai sumber kedaulatan, yang terpentingnsemakin bergema. Apalagi, lebih dari 29 kampus se-Indonesia telah menyampaikan seruan terhadap kondisi demokrasi saat ini, termasuk pentingnya agar Pemilu betul-betul berjalan secara demokratis, jurdil dan bermartabat.

Serta berbagai indikasi adanya oknum-oknum aparat TNI, Polri yang tidak netral, dan tuntutan agar tidak terjadi politisasi bansos dan menggunakan anggaran negara untuk dapat diperhatikan.

“Jangan sampai fungsi elektoral kekuasaan itu jauh lebih dominan daripada menempatkan prinsip kedaulatan rakyat itu,” tegas Hasto.

Kedua, Hasto menyoroti soal dugaan intimidasi yang disertai dengan praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan yang berlangsung jelang Pemilu.

Bahkan, dia mendapati informasi soal lembaga survei dijadikan sebagai alat dan instrumen elektoral dipacu dengan tampilan beberapa alat peraga dari salah satu partai yang dekat dengan kekuasaan.

“Apalagi ketika ada yang mengatakan bahwa pasangan 02, itu didukung oleh lebih dari sepertiga penyumbang perekonomian nasional, maka ini akhirnya menghadapkan kekuatan rakyat, presiden rakyat, Ganjar-Mahfud. Vis a vis terhadap kekuatan kekuasaan itu yaitu Paslon 02,” kata Hasto.

“Karena itu lah terkait dengan beberapa lembaga survei sebaiknya tidak hanya metodologi, tetapi mekanisme mendapatkan perizinan yang harus menyertakan standing poin di mana interview akan dilakukan dengan responden, itu hendaknya dijamin untuk tidak dilakukan. Sehingga, survei betul-betul bisa jadi alat ukuran terhadap persepsi dari masyarakat,” sambung dia.

Politisi asal Yogyakarta ini juga mengindikasi bahwa lembaga survei telah dicampuradukan sebagai alat elektoral.

“Di dalam situasi politik yang tidak lagi normal, terbukti dengan adanya gerakan dari mahasiswa, dari tokoh-tokoh intelektual, budayawan, maka legitimasi dari hasil survei dipertanyakan,” jelas Hasto.

Ketiga, Sekretaris Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud ini turut menanggapi pergerakan para tokoh-tokoh intelektual, dari kampus-kampus ternama, pergerakan tokoh budaya, kelompok pro demokrasi, hingga tokoh kebangsaan yang harus turun gunung.

Menurutnya, hal tersebut merupakan cermin memburuknya kualitas demokrasi.

“Demokrasi di Indonesia dalam keadaan yang terancam, terlebih dipadukan dengan kekuasaan dan kebijakan yang populis,” ujar Hasto.

Kemudian yang keempat, TPN Ganjar-Mahfud juga mencermati fenomena kampanye paslon nomor 2, Prabowo-Gibran di banyak wilayah yang terekam sepi meskipun dengan fasilitas yang luar biasa.

“Dengan kualitas yang baik, tetapi ternyata itu sepi. Sehingga ada gap yang besar antara apa yang dibangun dari persepsi hasil survei dengan realitas yang terjadi di lapangan,” kata Hasto.

Sebaliknya, Doktor Ilmu Pertahanan ini menyinggung peristiwa yang terjadi di Boyolali yang menimpa relawan pendukung Ganjar-Mahfud yang dipersekusi oleh oknum aparat TNI.

Lalu, tindak kekerasan yang terjadi di Yogyakarta, kemudian penurunan bendera PDI Perjuangan secara paksa di Gunung Kidul.

Hasto menilai, peristiwa itu justru menjadi suatu arus balik, bahwa kekuatan organik yang mendukung Ganjar Mahfud, itu semakin besar. Dan ini bisa dilihat di acara Hajatan Rakyat Konser Salam Metal 03 Ganjar-Mahfud di Gelora Bung Karno, Senayan kemarin.

“Sehingga Ganjar-Mahfud justru mendapatkan sentimen yang paling positif melalui gerakan rakyat massa organik yang datang dengan minimnya fasilitas, dengan tidak adanya lebih dari sepertiga pengusaha perekonomian nasional yang mendukung pada pasangan Ganjar, karena lebih banyak mendukung pasangan Prabowo,” pungkasnya. (*)

Editor : Awaluddin Awe

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *