Tentang Tuanku Imam Bonjol, Persaudaraan Minahasa-Minangkabau Siap Sambut Wagub Sumbar di Manado

  • Bagikan

Ketua Umum Persaudaraan Minahasa – Minangkabau Sevri Nelwan didampingi Sekjen Jeffrey Sagian. (Foto Andry Tuuk)

MANADO – Ketua Umum Persaudaraan Minahasa-Minangkabau Sevri Nelwan menyambut antusias rencana kedatangan Wakil Gubernur Sumatera Barat Audy Jonaldi ke Sulawesi Utara dalam rangka menziarahi dan menengok kondisi Pahlawan Nasional Imam Bonjol yang tidak ada pembiayaan perawatannya.

“Kami suprise tentang rencana Pak Audy Jonaldi ke Minahasa. Kami akan sambut. Kami akan dampingi. Kami pecinta Pahlawan Nasional Imam Bonjol. Beliau perintis perlawanan bersenjata melawan kolonialisme Belanda,” kata Sevri yang disampingi Jeffrey Sangian tokoh Yahudi Sulawesi Utara.

“Di Makam Tuanku Iman Bonjol dikelilingi perumahan masyarakat Katolik. Pakai bendera Vatikan. Tapi mereka sangat menghormati Tuanku Iman Bonjol. Kami mencintai seluruh pejuang bangsa, ” Kata Jeff.

Penjaga Makam Tuanku Imam Bonjol Menangis Ditelepon Wagub Sumbar

Abdul Muthalib penjaga makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara menangis haru saat ditelpon Wakil Gubernur Sumatera Barat Audy Joinaldi.

“Lebih 20 tahun saya menjaga makam Tuanku Imam Bonjol baru kali ini saya ditelpon pejabat Sumbar. ” Saya kaget ketika ditelpon Wakil gubernur Sumbar Pak Audy” kata Abdul Muthalib yang juga masih kerabat Pahlawan Nasional asal Bonjol, Sumatera Barat itu.

Menurut Abdul Muthalib kepada HarianIndonesia.id kemarin semula dia tidak yakin jika yang berbicara dengan dia adalah orang kedua di pemerintahan Provinsi Sumatera Barat.

“Pak Audy menanyakan keadaan Makan Tuanku Bonjol saya jawab apa adanya. Perawatan makam ala kadarnya karena tidak adanya biaya. Satu-satunya bantuan hanya dari Pemkab Minahasa. Itu pun hanya satu juta rupiah per bulan. Tapi tidak rutin, ” kata laki2 50 tahun yang masih berdarah Minangkabau itu.

Kepada Abdul Muthalib Wakil Gubernur Sumbar berjanji Pemerintah Sumbar akan membantu perawatan Makam Tuanku Imam Bonjol. “Pak Audy berjanji akan datang ke Minahasa. Ziarah. Saya benar-benar terharu. Menangis saya, ” katanya

Menurut Abdul Muthalib Wakil Gubernur Sumbar adalah pejabat pertama yang menanyakan keadaan makam Tuanku Imam Bonjol. “Saya benar-benar tidak percaya ditelpon Wakil Gubernur Sumatera Barat.

” Semoga rencana Pemerintah Sumbar untuk membantu biaya perawatan Makam Tuanku Imam dikabulkan Allah SWT. Jika Pak Audy jadi ke Minahasa beliau adalah pejabat Sumbar yang pertama menziarahi nakam Tuanku Imam Bonjol. “Semoga Allah memeberi kesehatan kepada Pak Audy, ” kata Abdul Muthalib.

Seperti diberitakan harian ini kemarin velum ada perhatian lebih tepatnya kepedulian pemerintah Sumatera Barat terhadap perawatan makam Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara.

“Jangankan bantuan pemugaran. Membantu biaya perawatan pun tak ada dari Gubernur ke Gubernur begitu saja ” kata Abdul Muthalib salah satu keturunan Imam Bonjol yang menjaga makam itu kepada Ben Ibratama Tanur wartawan senior yang juga Chief Eksekutif Officer (CEO) jaringan media online Kabarpolisi Media Group minggu lalu di Minahasa.

“Satu-satunya bantuan hanya dari Pemkab Minahasa. Itu pun hanya satu juta rupiah satu bulan. Kadang pun tidak rutin, ” ujar Abdul Muthalib.

“Uang bantuan itu hanya cukup untuk bayar listrik, ” Kata Abdul Muthalib.

Ben Tanur yang asli Payakumbuh ini tak kuasa menahan harunya bisa menziarahi makam Pahlawan Nasional itu.

“Mau menangis saya rasanya. Bisa menziarahi Pahlawan Nasional asal daerah saya. Saya kirim Al-fatihah agar Tuanku Imam Bonjol ditempatkan di SorgaNYA Allah SWT, ” kata pendiri Tan Malaka Institute itu.

“Saya langsung WA Pak Wagub. Beliau terkejut dan mengucapkan terimakasih atas informasi tentang makam Tuanku Imam Bonjol.

” Saya sudah sejak kampanye Pemilihan Gubernur memikirkan makam dan keluarga pahlawan nasional asal Sumatera Barat diperhatikan.

Menurut Audy Joinaldi, Sumatera Barat adalah gudang pemikir dan pahlawan nasional. Audy menyebut Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Natsir dan banyak lagi.

“Tuanku Imam Bonjol adalah orang Minangkabau pertama yang menentang penjajahan Belanda. Saking berbahaya nya beliau di mata penjajah dibuang atau diasingkan ke Minahasa yang jaraknya ribuan kilometer dari Sumbar, ” kata Audy.

“Saya paham sekali perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Saya pengagum beliau.

Karena itu Audy berjanji akan segera berangkat ke Minahasa untuk menziarahi Makam Tuanku Imam Bonjol dan sekaligus ingin mengecek kebutuhan biaya perawatannya.

” Jangan pernah meninggalkan sejarah. Tanpa perjuangan pahlawan Indonesia tidak ada, ” Kata Audy

“Saya sudah bicara dengan Gubernur Pak Mahyeldi beliau menyambut dengan semangat, ” kata Audy.

Asal Sumbar

Nakam pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol. Makam yang berlokasi di Jalan Pineleng-Kali, Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, itu menjadi salah satu objek wisata andalan bagi pengunjung dari luar wilayah Sulawesi Utara.

Menurut penjaga makam, Abdul Mutalib, kondisi makam memang cukup menarik perhatian wisatawan dari beberapa wilayah di luar Sulawesi Utara. Bahkan, pengunjung mancanegara pun sering kali mampir untuk melihat tempat peristirahatan terakhir sang pahlawan.

Selain masyarakat biasa, beberapa presiden Indonesia dan tokoh-tokoh penting di pemerintahan sempat mengunjungi makam Tuanku Imam Bonjol.

Abdul menjelaskan, Presiden Indonesia keempat Abdurrahman Wahid dan Presiden Indonesia kelima Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah mampir ke pekuburan berbentuk rumah adat Minangkabau berukuran 15 meter kali 7 meter itu.

“Beberapa sanak saudara Beliau pun terkadang masih ke sini untuk menengok,” kata Abdul.

SIMAK JUGA :  Bikin Kaget, Ada Pungli di Bandara Soekarno-Hatta, Penanganannya Terus Dikawal

Ketika memasuki bangunan pemakaman Tuanku Imam Bonjol, akan terlihat sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin bergelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional.

Lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol Sumatera Barat, wafat tanggal 6 November 1854 di Lota Minahasa. Imam Bonjol meninggal dalam pengasingan pemerintah kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan Tanah Air, bangsa, dan negara.

Terdapat sebuah lukisan besar yang memperlihatkan Tuanku Imam Bonjol sedang menunggangi kuda dan bersiap untuk menyerang, di dinding sebelah makam. Jika ingin melihat tempat Tuanku Imam Bonjol melaksanakan shalat, pengunjung bisa melangkahkan kaki untuk menuruni tangga menuju pinggir sungai. Sesampainya di ujung, akan terlihat bangunan bertuliskan Tempat Ibadah Tuanku Imam Bonjol.

Di tempat tersebut terdapat sebuah batu besar yang dulunya digunakan ulama itu untuk shalat. Bagi wisatawan yang ingin shalat di sana, terdapat sebuah mushala yang berada di ruangan sebelahnya.

Akhir Derita Tuanku Imam Bonjol di Tanah Pembuangan

Beberapa tahun sebelum meninggal, Imam Bonjol diasingkan oleh pemerintah kolonial. Ia merasakan pembuangan di umur yang sudah 70. tirto.id – Demi menggebuk perlawanan Tuanku Imam Bonjol yang dianggap terpengaruh Wahabi di Sumatra Barat, ribuan aparat militer kolonial pun dikerahkan ke sana.

Tak terkecuali Letnan Kolonel Andries Victor Michiels. Veteran Waterloo ini lalu mengambil alih komando tentara Belanda di Sumatra Barat dari Letnan Kolonel Cleerens. Setelah Michiels memimpin tentara, seperti ditulis Elizabeth Graves dalam Asal Usul Elite Minangkabau Modern (2007), “[Michiels] memutuskan sendiri untuk meneruskan perang dan menjelang Agustus 1837 memuncak sampai pendudukan Benteng Paderi yang terakhir, yaitu Bonjol.”

Menurut Dawis Datoek Madjolelo dan Ahmad Marzoeki dalam Tuanku Imam Bondjol: Perintis Djalan Ke Kemerdekaan (1951), militer Belanda memimpin pengepungan benteng Bonjol. Meski sempat lolos dalam sebuah pengepungan, Imam Bonjol akhirnya tertawan pada 28 Oktober 1837.

Setelah diringkus militer kolonial, Tuanku Imam Bonjol dibawa sejauh mungkin dari Sumatra Barat. Setelah ditempatkan di Cianjur, sempat juga dirinya dipindah ke Ambon. Sebelum akhirnya pada 1841 dibuang ke Keresidenan Manado. Tepatnya di daerah yang kini disebut Minahasa.

Dia tiba pada pertengahan tahun. Bersama anak-anaknya: Sutan Saidi, Abdul Wahid dan Baginda Tan Labi. Seperti dikisahkan dalam Naskah Tuanku Imam Bonjol (2004: 157) yang aslinya ditulis Naali Sutan Chaniago dan dialihbahasakan oleh Sjafnir Aboe Nain, sebelum bertolak ke Manado, seorang Kapitan Melayu di Ambon memberi keterangan kepada pengikut Imam Bonjol soal Manado yang bukan negeri Islam dan banyak babi berkeliaran di sana.

Pesan si kapitan: jika bisa, jangan mau pergi ke Manado. Namun pemerintah kolonial lah yang punya kuasa soal ke mana Imam Bonjol harus dibuang. Kapal yang ditumpangi Imam Bonjol menuju tanah pembuangan singgah di Ambon dan sempat merapat di Kema, Minahasa bagian selatan.

Setelahnya berlayar lagi ke bagian utara, yaitu kota Manado, yang merupakan pusat Karesidenan Manado. Di Minahasa ini, sudah dibuang pula Kiai Modjo beserta pengikutnya di pinggir Danau Tondano.

“Tuanku Imam tidak ditempatkan bersama dengan rombongan Kiai Modjo di Tondano dikarenakan alasan bahwa akan sangat berbahaya jika kedua tokoh tersebut ditempatkan di lokasi yang sama,” tulis Roger Kembuan dalam tesisnya, Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908 (2015: 136-137).

Pemerintah kolonial tentu berusaha membuat dua tokoh perlawanan kelas berat itu tidak berada dalam satu tempat. Setelah beberapa waktu di Manado, maka ditempatkanlah Imam Bonjol di luar kota Manado. Awalnya, Imam Bonjol dan pengikutnya ditempatkan di Desa Kombi, yang kini termasuk Kabupaten Minahasa, dekat dengan Danau Tondano.

Untuk bisa mencapai desa itu, seperti dicatat Roger Kembuan (hlm. 125), Imam Bonjol dan anak-anaknya harus berjalan kaki tiga hari untuk mencapai Desa Kombi dari kota Manado.

Tak semua jalan di Sulawesi Utara pada 1840-an bisa dilalui kereta yang ditarik sapi atau kuda. Dari kota pelabuhan Manado, tempat pembuangan sementara di Desa Kombi lebih jauh ke arah selatan ketimbang tempat pembuangan Kiai Modjo. Sekitar 50 km dari kota Manado.

Kemudian Imam Bonjol pindah di desa Lotta, Pineleng. Menurut Naskah Tuanku Imam Bonjol (hlm. 161-162), selama di pembuangan Imam Bonjol sempat membeli tanah untuk penghidupannya. Imam Bonjol merasa tidak nyaman beribadah di sekitar Kombi. Kemudian Imam Bonjol minta pindah dan akhirnya beli tanah di Pineleng.

Jarak Pineleng dengan kota Manado sekitar 15 km. Sementara pembungan Kiai Modjo—yang kini disebut Desa Jawa Tondano—jaraknya 30 km dari Manado. Di masa pembungan Imam Bonjol dan Kiai Modjo, daerah Minahasa masih didominasi budaya Alifuru.

Sebelum Kristen masuk dan kemudian dominan, agama lokal Alifuru merupakan agama terpenting. Islam yang dibawa Kiai Modjo hanya berjaya di desa Jawa Tondano.

Bagi pemerintah kolonial, Minahasa pun jadi tempat pembuangan sempurna untuk ulama yang bersikap keras kepada pemerintah kolonial. Di sekitar tempat pembungan Imam Bonjol dan Kiai Modjo, terdapat veteran perang Jawa yang merupakan laskar-laskar Pasukan Tulungan pimpinan Mayor Tololiu Dotulong dan Kapiten Benjamin Thomas Sigar.

Pemerintah kolonial berusaha menjadi kawan baik bagi masyarakat setempat. Jadi sulit bagi Imam Bonjol dan Kiai Mojo memimpin perlawanan lagi di sana.

Tata Tanur

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *