Miko Kamal : DPR Harus Ungkap Siapa Penulis Naskah Akademik RUU HIP

  • Bagikan

Miko Kamal


Padang, Harianindonesia.id
Terkait kisruh politik atas munculnya Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang kemudian ditunda oleh pemerintah, seorang Praktisi Hukum dari Padang Miko Kamal SH,LLM,PhD, meminta DPR mengumumkan siapa penulis naskah akademik yang kemudian dijadikan bahan untuk menyusun RUU HIP tersebut.

“Sesuai dengan Undang undang keterbukaan publik, saya meminta DPR mengumumkan siapa penulis naskah akademik yang dijadikan dasar dalam menyusun RUU HIP yang menghebohkan publik tersebut,” kata Miko Kamal SH,LLM,PhD dalam rilisnya seperti dikutip situs berita dMagek.id, Senin (22/6/2020).

Menurut pengacara spesialis pemerintahan ini, dengan membuka kedok penulis naskah akademik RUU HIP publik akan mengetahui apa latar belakang dan tujuan dari penyusunan RUU tersebut. Sebab di mata Miko Kamal, RUU HIP sama sekali tidak memedomani tata cara dan prosedur yang benar dalam proses penyusunannya.

Menurut Ketua Alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang ini, keputusan pemerintah menunda pembahasan RUU HIP sudah tepat, sebab menimbulkan polemik luas di tengah masyarakat. Namun, sebaliknya, pemerintah tidak cukup hanya menunda tetapi harus menelusuri kembali proses munculnya naskah akademik yang menjadi sumber konflik RUU HIP tersebut.

Miko Kamal menjelaskan bahwa dalam setiap materi muatan peraturan-perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Pancasila tidak ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena nilai Pancasila telah terkandung dalam suatu norma di Undang-Undang Dasar 1945.

“Setelah saya membaca dengan seksama naskah akademik dan draft RUU HIP, kontroversial RUU yang diusulkan oleh DPR ini bersumber dari naskah akademik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan cenderung memanipulasi fakta sejarah.” ujar Miko Kamal  S.H. LL.M. PhD.

Naskah akademik, tegas Miko, harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah merupakan perintah dari Pasal 1 Angka 11 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, yang selengkapnya berbunyi: 

“Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat,” kata dosen fakultas hukum universitas Bung Hatta Padang ini.

Dalam catatannya, Miko Kamal melihat ada empat kekeliruan dalam naskah akademik dan draft RUU HIP yakni:

Pertama, pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 diklaim sebagai dasar penyusunan falsafah negara yang diterima secara aklamasi oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Klaim itu tidak benar. Sebagaimana catatan sejarah, pidato tanggal 1 Juni 1945 adalah usulan pribadi Soekarno, bukan ketetapan BUPK. Soekarno sendiri menyatakannya di dalam transkrip pidatonya. Kata Soekarno, ‘Saudara-saudara! “Dasar Negara” telah saya usulkan lima bilangannya’.

Pada kalimat yang lain, Soekarno juga mengulangi lagi: ‘Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi’. Dari catatan sejarah lahirnya Pancasila juga sangat jelas bahwa setelah Soekarno dan tokoh-tokoh pendiri bangsa lainnya menyampaikan usulan, BPUPK mengeluarkan keputusan pada tanggal 22 Juni 1945 yang melahirkan Piagam Jakarta dan seterusnya pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yaitu Pancasila yang termaktub di dalam Preambule UUD 1945.  

Kedua, bagian pidato Soekarno tentang Ketuhanan yang Berkebudayaan dipenggal secara serampangan untuk dijadikan rujukan oleh penulis naskah akademik. Pada halaman 4 naskah akademik tertulis: ‘Prinsip Indonesia Merdeka, dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah keTuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain’.

SIMAK JUGA :  Indonesia Masuk Daftar 15 Negara Dengan Militer Terbaik Dunia

Pidato Soekarno tersebut masih ada sambungannya yang jika disatukan, maknanya akan berbeda. Soekarno pada ujung paragraf pidatonya menyampaikan; ‘Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Perhatikan dengan seksama sambungan kalimat Soekarno itu. Soekarno menyebut dengan tegas bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah azas negara Indonesia merdeka.

Ketiga, naskah akademik RUU HIP juga mengarahkan bahwa makna dari terminologi Ketuhanan yang Berkebudayaan yang disampaikan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 adalah bangsa Indonesia dalam beragama tidak boleh egois. Untuk mendukung pemaknaan itu, penulis naskah akademik (halaman 23) juga mengutip pidato Soekarno yang selengkapnya berbunyi: ‘Pada prinsipnya segenap rakyat hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoism agama’.

Lagi-lagi kutipan ini tidak utuh. Serupa dengan cara mengutip bagian pidato Soekarno ketika menjelaskan terminolog Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kata Soekarno di ujung paragraf pidatonya itu: ‘Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan’. Makna negara yang bertuhan yang disampaikan Soekarno terdapat pada kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip ketuhanan adalah: ‘Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya’.

Pidato Soekarno pada bagian ini sebenarnya sangat jelas bahwa beliau menginginkan negara merdeka yang akan didirikan adalah negara yang bangsanya beragama sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Di tangan penulis akademik, karena pidato Soekarno tidak dikutip secara utuh, diksi “tidak egoism agama” bisa bermakna lain. Misalnya, agama itu sama.

Jika memang benar ini maksudnya, bagi sebagian besar umat beragama (terutama umat Islam) pikiran ini sangat tidak pantas. Semua agama yang diakui negara pasti tidak sama dalam pandangan para pemeluknya masing-masing. Bagi pemeluk Islam sudah jelas panduannya di dalam Surat Al-kafirun ayat 6: ‘untukmu agamamu, dan untukulah agamaku’.

Ke empat, berangkat dari naskah akademik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, RUU HIP kemudian memuat materi yang bertentangan dengan Konstitusi, sebab dalam Konstitusi (bagian Preambule) tertulis jelas bahwa dasar negara yang disepakati oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah Pancasila. Bukan Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 7 ayat 3 RUU.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sesuai dengan amanat UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, bertepatan dengan hari disetujuinya konsep Pembukaan atau Mukaddimah UUD 1945 oleh BPUPK (22 Juni 1945, 75 tahun yang lalu), Saya mengimbau DPR sebagai inisiator RUU HIP untuk membuka kepada publik siapa saja yang menjadi penulis naskah akademik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan cenderung manipulatif tersebut.

“Dengan dibukanya informasi penting ini, akan membantu kita membuka kotak pandora RUU kontrovesial yang jika pembahasannya diteruskan dapat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Miko Kamal mengakhiri

(dmp/awe)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *