ICJR Soroti 17 Pasal Kontroversial dalam Revisi RKUHP di Era Pandemi Covid -19

  • Bagikan

ILUSTRASI

Jakarta, Harianindonesia.id ‐ Perkumpulan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kembali digelar DPR RI di tengah pandemi virus corona (Covid-19).

ICJR mencatat masih ada belasan pasal kontroversial dalam RKUHP sehingga DPR perlu menunda pembahasannya saat ini. Pasal-pasal itu sempat mendapat penolakan dari masyarakat pada tahun lalu dan berujung gelombang aksi massa di berbagai daerah.

“Saran kami ya ditunda dulu, masih perlu dibahas lagi bersama masyarakat dan para ahli,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu seperti dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (8/4).

Secara rinci, ICJR memberi catatan kritis terhadap pasal-pasal kontroversial RKUHP sebagai berikut:

1. Penghinaan Presiden
Pasal 218 terkait penghinaan presiden dan wakil presiden menjadi sorotan karena pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan Nomor 013-022/puu-iv/2006 dengan alasan warisan kolonial.

Selain itu, pasal penghinaan presiden-wakil presiden bakal menimbulkan konflik kepentingan. Sebab yang akan memproses hukum adalah kepolisian yang merupakan bawahan presiden.

2. Penghinaan Pemerintahan yang Sah
Pasal 240, 247, dan 354. ICJR melihat bunyi ketiga pasal itu tidak sesuai dengan klaim Menkumham Yasonna Laoly. 

Disebut ICJR bahwa Yasonna menyatakan pasal itu delik materiil yang menjadi pidana bila mengakibatkan kerusuhan atau huru-hara di tengah masyarakat. Padahal di pasal 247 dan 354 tidak ada sama sekali pencantuman kerusuhan atau huru-hara sebagai dampak pidana tersebut. Sementara Pasal 240 hanya menyebut keonaran, tak sesuai dengan klaim Yasonna.

3. Pembiaran Unggas
Pasal 548 mengatur pidana untuk orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain.

ICJR berpendapat pasal ini perlu dievaluasi. Mereka menyarankan pasal ini diatur dalam peraturan daerah, tak perlu lewat KUHP.

4. Alat Kontrasepsi
Pasal 414 mengatur pidana bagi orang yang mempertunjukkan atau menawarkan alat pencegah kehamilan. ICJR menilai ada salah persepsi di pemerintah yang mengaitkan akses terhadap kontrasepsi dengan seks bebas.

ICJR mengutip penelitian Kemenkumham berjudul Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Penanggulangan Prostitusi dan Pencegahan Penyebaran HIV/AIDS, tahun 1995/1996 yang menyebut pengenalan kondom atau alat kontrasepsi masuk dalam penyuluhan pencegahan AIDS.

5. Zina
Pasal 27 BW yang memidanakan persetubuhan antara seseorang yang telah kawin dengan orang lain. ICJR memahami Indonesia menjunjung tinggi moral, tapi aturan ini dikhawatirkan menabrak hak privat warga negara.

Mereka berpendapat seharusnya negara mengatur pidana untuk kekerasan seksual. Memidanakan perilaku seksual tanpa unsur kekerasan, menurut ICJR, akan menghadirkan diskriminasi terhadap kelompok terstigma dan kesewenang-wenangan aparat.

6. Kohabitasi
Pasal 419 memidanakan pasangan di luar perkawinan yang tinggal seatap. Pidana ini bisa diproses melalui delik aduan yang dilakukan oleh kepala desa setempat.

ICJR menilai bakal ada kesewenang-wenangan dalam penerapan pasal ini. Sebab wewenang menentukan moral publik berada di tangan kepala desa atau pemimpin daerah setempat.

7. Penggelandangan
Pasal 505 menyebut orang yang melakukan bergelandangan diancam hukuman tiga bulan penjara. ICJR menilai pasal ini bertentangan dengan UD 1945.

SIMAK JUGA :  Defisit APBN Capai Rp179 T, Ekonomi Minus 3,1 Persen

Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Mereka berpendapat seharusnya pemerintah merumuskan kebijakan sosial, bukan malah melakukan tindakan represif.

8. Aborsi
Aturan kriminalisasi aborsi dalam pasal 347 ini disebut bakal bertabrakan dengan UU Kesehatan dan UU Perlindungan Anak. Sehingga bakal menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. ICJR mengusulkan pemerintah mengkaji ulang pasal itu.

9. Hukum Hidup
Pasal 2 ayat (1) dan pasal 598 disoroti karena akan membuat aturan karet. Pasal-pasal ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan karena aparat punya kuasa menentukan hukum hidup di masyarakat yang dilanggar.

Ketentuan ini juga akan dituangkan dalam perda di wilayah masing-masing. ICJR melihat akan ada perda diskriminatif jika pasal ini disahkan.

10. Pidana Mati
Pasal 67, 99, 100, dan 101 masih menerapkan hukuman mati. Padahal menurut ICJR sudah asa 2/3 dari seluruh negara di dunia yang menghapuskan hukuman mati. Indonesia diminta ikut melangkah ke peradaban yang lebih maju.

11. Makar
Pengaturan makar dalam pasal 167 dinilai tidak sesuai dengan asal kata aanslag yang berarti serangan. RKUHP, kata ICJR, cenderung mendefinisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.

12. Penghinaan Pengadilan
ICJR mengkritik aturan dalam Pasal 281. Aturan yang tidak rinci ini diprediksi akan mengganggu kebebasan ekspresi mengkritik putusan pengadilan.

13. Penghinaan
Pasal 440-449 dinilai masih karet. Karenanya, ICJR mengusulkan pengecualian terhadap kritik untuk kepentingan umum, karena terpaksa membela diri, tidak ada kerugian yang nyata, pernyataan yang disampaikan secara emosional, dan/atau pernyataan tersebut disampaikan kepada penegak hukum.

Selain itu, mereka juga menyarankan pengecualian untuk pernyataan yang dilakukan dalam koridor pelaksanaan profesi yang dilakukan sesuai kode etik profesi, pernyataan yang tidak dilakukan di depan umum atau merupakan korespondensi secara pribadi, dan/atau pernyataan yang disampaikan adalah kebenaran.

14. Pelanggaran HAM Berat
Pasal 599 dan 600 mencantumkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Aturan baru ini dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk penuntutan yang efektif.

Selain itu, ICJR juga menyebut masuknya pidana pelanggaran HAM berat ke RKUHP akan menghilangkan kekhususan pidana ini. Mereka juga mengkhawatirkan asas retroaktif untuk pelanggaran HAM berat dihapuskan.

15. Narkotika
Pasal 611 hingga 616 kembali menempatkan stigma narkotika sebagai masalah kriminal. Padahal secara internasional negara-negara dunia telah memproklamasikan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat.

16. Pencabulan
Pasal 421 disoroti ICJR karena frasa “sesama jenis” dalam pidana pencabulan. Mereka khawatir pasal ini akan menimbulkan diskriminasi terhadap orientasi seksual seseorang.

17. Penodaan Agama
Pidana dalam pasal 304 akan menimbulkan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. Sebab pasal itu mengatur penodaan agama terhadap “agama yang dianut di Indonesia”. ICJR juga mewanti-wanti pasal ini akan menjadi pasal karet karena tidak ada frasa “dilakukan dengan sengaja”.

(awe)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *