Diskusi SATUPENA, Ahmad Nurcholish: MK dan MA Abaikan Keragaman Tafsir tentang Pernikahan Beda Agama

  • Bagikan

JAKARTA –  Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) mengabaikan tentang keragaman tafsir agama tentang pernikahan beda agama.

Hal itu disampaikan oleh Ahmad Nurcholish, aktivis kebinekaan dan fasilitator nikah beda agama.

Ahmad Nurcholish menyatakan hal tersebut selaku pembicara dalam diskusi bertema Duduk Perkara Nikah Beda Agama. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 3 Agustus 2023.

Diskusi yang menghadirkan Ahmad Nurcholish itu diselengarakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA.

Menurut Ahmad Nurcholish, riset lembaganya pada 2005, 2010, 2020 menunjukkan ada kemajemukan atau keragaman tafsir/pandangan dalam komunitas agama-agama tentang pernikahan beda agama.

“Banyak yang melarang, tetapi tidak sedikit yang membolehkan pernikahan beda agama,” ujar Nurcholish, yang aktif di Pusat Studi Agama dan Perdamaian ini.

Nurcholish menjelaskan, dalam Islam pun ada tiga tafsir tentang ini. Yakni: dilarang/diharamkan secara mutlak; dibolehkan untuk lelaki muslim, tidak sebaliknya; dan dibolehkan secara mutlak.

Menurut Nurcholish, negara atau pemerintah seharusnya dapat berlaku adil. Negara harus melindungi warganya dan memberi hak sesuai pilihan/preferensi keyakinan agamanya.

“Bagi yang mengikuti tafsir atau pandangan agama yang melarang pernikahan beda agama, dilindungi haknya untuk tidak menikah beda agama,” ujarnya.

“Sedangkan, bagi yang mengikuti tafsir atau pandangan agama yang membolehkan, juga harus diberi haknya untuk menikah sesuai keyakinan tersebut,” kata Nurcholish.

Jumlah pernikahan beda agama di Indonesia, kata Nurcholish, sebetulnya lebih banyak dari yang kita perkirakan.

Mengutup data riset Noryamin Aini dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Maret 2022, ada 9 pernikahan beda agama dari 1.000 pernikahan pada 1980. Meningkat menjadi 11 dari 1.000 pernikahan pada 1990. Secara demografis, pernikahan beda agama di perkotaan 3 kali lebih banyak.

Nurcholish menuturkan, melihat sejarah, pernikahan beda agama di Indonesia sudah ada sejak abad ke-8 era Mataram kuno. Rakai Pikatan (Hindu Siwa) menikah dengan Pramodawardhani (Buddha), untuk menyelaraskan hubungan dua kerajaan, Dinasti Sanjaya dan Saelendra.

Lalu, pada abad ke-10, ada pernikahan Ken Arok (Raja Singasari, Hindu) dan Ken Dedes (Buddha). Peristiwa luar biasa ini dicatat oleh para sejarahwan. (K) ***

  • Bagikan
Exit mobile version