Musuh Hamas Itu Zionis, Bukan Yahudi

  • Bagikan

Juru Bicara Brigade Al-Qassam sayap militer Hamas Abu Ubaidah [Foto: Hops.i

Soal makin banyaknya narasi yang mendiskreditkan Hamas cukup menarik juga. Mulai dari perilaku korupsi pemimpinnya hingga cap sebagai organisasi teroris yang kerap digunakan sebagai preteks atas serangan Israel. Atas serangan roketnya.

Ironisnya, nyaris tidak ada yang membahas bahwa seringkali meningkatnya eskalasi konflik kadang juga dipicu pemimpin Israel untuk menaikkan dukungan politik di negaranya. Untuk saat ini, PM Israel Benyamin Netanyahu tengah menghadapi sejumlah permasalahan. Dugaan korupsi dan kasus dugaan pelecehan seksual anaknya.

Siapa pun tahu, perang bisa memberikan boosting dukungan politik yang bisa membalikkan keadaan. Dengan latar belakang ini, wajar saja jika ada yang berspekulasi seperti itu. Apalagi, trigger konflik kali ini adalah rencana arak-arakan pawai di Yerusalem.

Selain itu, preteks serangan roket Hamas sebagai provokasi konflik adalah lagu lama. Sudah dilakukan ketika saya melakukan liputan ke sana pada Januari 2009 lalu.

***

Soal korupsi dan sebagainya. Tudingan dialamatkan ke Khaleed Meshal, yang sering bertindak sebagai juru bicara Hamas di luar negeri. Khaleed Meshal dianggap korup, dan kemudian diambil kesimpulan karenanya pemimpin Hamas dianggap memanfaatkan rakyat Palestina untuk kepentingan pribadi. Karenanya layak diperangi dan Gaza layak dibom.

Jika logika ini diterapkan di sini, mungkin seharusnya negara tetangga kita sudah berhak ngebom Indonesia. Simak saja peringkat Indonesia di indeks negara terkorup di dunia. Saya tidak tahu tudingan terhadap Khaleed Meshal ini benar atau tidak. Tapi, yang saya tahu ketika berada di Gaza City, hidup para pemimpin Hamas sangat sederhana. Kemewahan takkan terlihat mencolok di Gaza City. Listrik byar-pet, nyaris tidak ada bangunan mewah di sana, dan hidup selalu dalam ketegangan konflik yang konstan.

Oya, sekedar informasi soal letak geografis. Gaza dan Israel itu ibarat tetangga sebelah kompleks perumahan. Luas Gaza mungkin sekitar lebar 6 km dan panjang hanya 40 km. Dengan berlari, tentara Israel paling hanya butuh waktu tidak sampai setengah jam. Jadi, hidup bermewah-mewah di Gaza bagi pemimpin Hamas bukan pilihan. Selain gampang tertangkap, juga untuk apa? Baru membangun rumah mewah saja, besoknya bisa hancur kena bom. Mau liburan ke luar negeri? Memang mudah bagi orang berpaspor Palestina pelesiran ke luar negeri?

Bahan makanan pun terbatas. Mau beli smart TV untuk bermewah-mewah lihat Netflix? Jaringan internet lemah. Dan pemimpin Hamas pun tahu bahwa internet akan membuat mereka lebih mudah tertangkap. ’’Untuk urusan penting, kami tidak pernah mengandalkan teknologi untuk berkabar. Semuanya melalui kurir,’’ kata Ahmad, komandan fasheel (setingkat Polres) Brigade Izzudin al Qassam di Gaza City.

Jika pemimpin Hamas yang tinggal di Gaza mau korupsi, saya yakin pasti bisa. Pertanyaannya, buat apa korupsi di sana? Wong mau bermewah-mewahan bergelimang harta ya tidak ada gunanya di sana.

Padahal, aset Hamas lumayan besar. Menurut Dr. Sobhi Al Mazi, seorang petinggi Hamas, pada 2009 lalu, Hamas mempunyai harta dan aset senilai USD 42 juta. ’’Semua kami gunakan untuk operasional dan membantu rakyat Gaza,’’ katanya dalam wawancara 12 tahun silam tersebut. Korup atau tidak korup, dari yang saya lihat, Hamas adalah kelompok terkuat yang mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat Gaza. Dukungan yang riil dan organik.

***

Lalu, soal cap organisasi teror? AS, Israel, dan negara-negara Eropa punya kriteria tersendiri untuk menetapkan itu. Dan Hamas, bagi mereka, adalah organisasi teror. Saya tak akan membantah atau mengonternya karena semua parameter ditetapkan oleh mereka sendiri.

Namun, setidaknya, bagi saya Hamas bukan organisasi teror sebagaimana kita, masyarakat awam, memandang organisasi teror seperti Al-Qaeda atau ISIS. Ada perbedaan cukup signifikan. Bahkan, sejak awal, mereka sudah bersimpang jalan.

Pada Februari 1989, ketika Sovyet menarik pulang pasukan dan rezim boneka Najibullah di Afghanistan, membuat kalangan mujahidin di sana mendapat boosting rasa percaya diri yang tinggi. Bahwa semangat jihad bisa mengalahkan negara superpower. Namun, hal ini juga menimbulkan kebingungan. Setelah ini, lalu mau apa? Mau dikemanakan energi para mujahidin yang tengah meluap-luap ini?

Terjadi polarisasi. Yakni, antara kubu salah satu tokoh sentral Mujahidin Syekh Abdullah Azzam dan tanzhim-tanzhim Jihadi yang merapat ke Osama bin Laden dan kelompok Jihad Mesir-nya Ayman al Zawahiri. Azzam, sebagai salah satu tokoh yang membentuk Harakat al Muqawama al Islamiyyah (Hamas) menginginkan perjuangan selanjutnya adalah Palestina. Ini dilatarbelakangi pandangan bahwa jihad harus diarahkan untuk melawan kafir ajnabi (kafir asing).

Sementara, kelompok Osama dan Tanzhim Jihad Mesir menginginkan untuk melawan orang-orang kafir mahaly (kafir tempatan), seperti para penguasa murtad yang memerintah di negeri-negeri Islam. Bagi mereka, melawan kafir mahaly adalah sebuah jihad fardlu ain, artinya harus dilakukan oleh tiap muslim.

Ayman bahkan melangkah lebih jauh. Tokoh yang kini dipercaya sebagai bos Al-Qaeda pengganti Osama yang telah tewas dibunuh Navy Seals AS tersebut bahkan berani menyerang Ikhwanul Muslimin. Ironi, karena dulunya Ayman pernah menjadi anggota, dan banyak tokoh luar biasa lahir dari rahim organisasi tersebut. Ayman bahkan menyebut IM sebagai alat tiran. Konflik ini berakhir dengan Azzam terbunuh oleh sebuah bom mobil di Peshawar pada 24 November 1989. Selanjutnya, kelompok jihad global tak pernah menjadikan masalah Palestina sebagai salah satu prioritas penting.

Melihat sejarah ini, Hamas tak bisa diidentikkan dengan kelompok teror jihad global. Karena keduanya sudah berbeda jalan. Perjuangan Hamas lebih ke perjuangan kemerdekaan. Seperti IRA atau mungkin seperti MILF di Filipina Selatan. Hamas memang pernah melakukan serangan bom mobil, tapi sasarannya selalu target Israel. Tak pernah, misalnya, Hamas melakukan serangan di Eropa, atau mensponsori aksi amaliyah di Asia Tenggarra.

Tujuan Hamas jelas. Dalam piagamnya pada 1988, Hamas menginginkan tanah Palestina yang diduduki Israel dikembalikan. Sementara, kelompok jihad global adalah menginginkan khilafiyah di seluruh dunia.

Oya, pada 2017, Hamas menerbitkan sebuah manifesto yang lebih moderat. Meski tetap tidak mengakui Israel, tapi Hamas menerima pembentukan negara Palestina di kawasan Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur –sebagaimana kedudukan sebelum perang enam hari pada 1967. Manifesto itu juga menegaskan bahwa perlawanan Hamas bukan dengan orang Yahudi, tetapi pada “kelompok pendudukan agresor Zionis”. Mendefinisikan lawan Hamas bukan Yahudi, tetapi Zionis. Ini tertulis tegas di manifesto tersebut.

***

Ada beberapa faksi perlawanan di Palestina. Ada Fattah, ada Hamas, ada Jihad Islam Palestina, dan ada Al Jaysh al-Islam (Tentara Islam). Dua nama terakhir ini sangat militan, dan “lebih galak” ketimbang Hamas.

Namun, faksi perlawanan terbesar dan paling banyak mendapat dukungan dari masyarakat Palestina, terutama di Gaza adalah Hamas. Setidaknya, ini terlihat dari kemenangan mereka di Pemilu 2006 yang menjadikan tokoh nomor satunya, Ismail Haniyyah, sebagai Perdana Menteri.

Salah satu alasan yang saya lihat karena Hamas masih penuh dengan rules of conduct yang ketat. Tidak mudah menjadi Brigade Izzudin Al-Qassam –sayap militernya. Rekrutmen yang mereka lakukan pun sangat tertutup. ’’Kami melakukan perekrutan melalui liqa’,” kata Ahmad. Persyaratannya antara lain, hafal minimal 15 juz qur’an, punya pengetahuan hadist dan sunah yang mendalam, dan tak punya track record buruk di lingkungannya. ’’Yang merekrut adalah tashqeel,” katanya. Ahmad lalu menjelaskan tashqeel adalah pimpinan setingkat kecamatan. Ahmad memang kebagian tugas menjadi “among tamu” jurnalis yang sudah diverifikasi “aman” oleh pimpinan Hamas.

Saya kebetulan termasuk, dan diberikan akses dan pengetahuan soal Hamas apa saja, kecuali tiga: bertemu Ismail Haniyyah, bertemu Muhammad Al Deef (komandan Brigade Izzudin Al-Qassam saat itu hingga sekarang), dan bertemu dengan Kopral Gilad Shalit, tentara Israel yang diculik Hamas pada 2006. ’’Mereka (pimpinan Hamas, Red) bilang, Gilad masih hidup, dan ya saya percaya dia masih hidup,’’ kata Ahmad pada 2009 lalu. Saat itu, banyak orang sudah menganggap Gilad sudah tewas karena sudah tiga tahun diculik. Belakangan, Gilad memang masih hidup dan dibebaskan pada Oktober 2011 dengan pertukaran lebih dari seribu tahanan orang Palestina.

Ahmad juga mengatakan bahwa tiga hal tersebut tak bisa dia berikan, karena memang dia sendiri tak bisa. ’’Saya sendiri juga tak bisa bertemu Al Deef. Tidak ada yang tahu wajahnya. Karena, selama bertemu orang luar, dia selalu mengenakan kafiyeh,’’ katanya, mengingatkan saya akan Subcomandante Marcos, pemimpin gerilyawan Zapatista tersebut.

Soal hamniyah (kerahasiaan) memang menjadi salah satu kode etik anggota Al-Qassam yang terpenting selain masalah akhlak. Pelanggaran terhadap hal itu (hamniyah) merupakan pelanggaran terberat. Bila hanya berakibat mengganggu ritme kerja pasukan itu, maka sanksinya adalah dicopot keanggotaannya. Bila agak berat (seperti berkoar-koar di luar bahwa dirinya adalah anggota Izzudin Al Qassam), ditembak tapi pada bagian yang tidak mematikan, seperti kaki.

Namun, bila berat (misalnya sampai mengakibatkan kedok seorang pemimpin majmu’ah, tashkeel, fasheel, sariyyah, katibah, atau liwa’ ketahuan), anggota tersebut bisa dibunuh. Dengan kode etik seperti ini, anggota Al-Qassam lebih suka tak bicara macam-macam di luar lingkungan mereka. Ahmad kemudian memberikan contoh betapa efektifnya sistem seperti ini. ”Seperti anfaq (terowongan bawah tanah). Ada divisi khusus yang melakukan penggalian,” tuturnya.

Anggota yang bertugas membuat terowongan tersebut sama sekali tak pernah komunikasi dengan yang lain. Kerjanya tiap hari hanya menggali terowongan selama enam jam per hari (satu terowongan biasanya selesai dalam waktu empat hingga lima bulan). ”Yang lain baru tahu setelah terowongan tersebut jadi dan bisa dimanfaatkan,” urainya.

Lepas dari segala cap terorisnya, Hamas bisa besar karena mempunyai sejumlah disiplin kode etik yang luar biasa ketat dan tak tumbuh menjadi kumpulan sel liar teroris seperti JAD, misalnya. Setidaknya ini terlihat dari kasus Kopral Gilad Shalit. Selama lebih dari lima tahun dia diculik, dan di setiap nego-nego pembebasannya dengan pihak Israel melalui pihak ketiga, Hamas selalu menegaskan Gilad tak pernah mendapat perlakuan buruk dan keselamatannya dijamin. Dan hal itu ternyata ditepati.

Kemudian, jika masih ada yang mempertanyakan soal aksi-aksi kekerasan dan serangan roket yang dilakukannya, ya gimana juga ya. Cobalah anda sesekali berkunjung ke Gaza, dan merasakan sendiri bagaimana radikalnya situasi yang ada. Blokade laut, udara, dan darat, dan seringkali terjadi konflik bersenjata yang tak imbang (pada 2009 ketika di sana, saya menyaksikan sendiri penggunaan bom kluster oleh Israel. Bom yang pecah berkeping-keping setinggi lutut dan menyebarkan semacam lempengan besi tajam yang masih mengeluarkan api meski hingga tiga hari terjatuh di tanah), membuat rakyat Gaza hidup dalam penderitaan yang konstan.

Belum lagi ditambah dendam turunan, di mana nyaris tidak ada keluarga di Gaza yang tak pernah kehilangan anggota keluarganya, maka manusia seperti apa yang diharapkan muncul dari kawasan konflik seperti itu? Nyaris tidak mungkin mengharapkan anak-anak kecil di sana tumbuh menjadi ilmuwan seperti Leonardo Da Vinci di sana. Wajar jika ketika liputan di sana, saya melihat anak-anak berusia 13 tahun sudah mahir melepas dan memasang AK-47 dalam waktu kurang dari semenit.

Agak berlebihan jika berpendapat bahwa rakyat Gaza sebaiknya mengedepankan dialog atau maksimal aksi demonstrasi damai membawa bunga untuk memprotes pendudukan.

*) Kardono Setyorakhmadi, wartawan senior yang pernah liputan di Jalur Gaza

  • Bagikan
Exit mobile version