TPN Tetap Optimis Ganjar- Mahfud Menang Satu Putaran, Todung : Kita Butuh Presiden Negarawan

  • Bagikan

Momen Direktur Eksekutif Komunikasi Informasi dan Juru Bicara TPN Tomi Aryanto memandu Konprensi Pers TPN Ganjar Mahfud dengan narasumber Deputi Politik 5.0 Andi Widjajanto dan Deputi Hukum Todung Mulya Lubis di Jalan Cemara, Kamis (25/1/2024)

JAKARTA, Harianindinesia.id –

Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar – Mahfud memastikan pasangannya bakal tetap memenangkan Pilpres dalam satu putaran, meskipun Presiden Joko Widodo telah memberikan sinyal terbuka kepada publik bahwa dirinya mendukung Paslon 02.

“Melihat triangulasi big data TPN, posisi saya tidak berubah seperti dua pekan lalu, bahkan makin ke sini makin yakin Ganjar-Mahfud menang satu putaran pada Pilpres 14 Februari 2024,” kata Deputi Politik 5.0 TPN, Andi Widjajanto, dalam konferensi pers di Media Center TPN, Kamis, 25 Januari 2024.

Mantan Gubernur Lemhanas itu menyampaikan argumennnya Ganjar – Mahfud tepak bakal memenangkan Pilpres satu putara.

Pertama, hasil kerja keras Ganjar Pranowo, Mahfud MD termasuk tokoh di TPN seperti Tuan Guru Bujang, Yenny Wahid, Arsjad Rasjid, Andika Perkasa, (termasuk Safari Politik Siti Atikoh dan puteranya Alam Ganjar) dan tokoh-tokoh TPN lain yang berkeliling Indonesia telah meningkatkan elektoral Ganjar – Mahfud.

Kedua, kata Andi, hasil empat debat terakhir menunjukkan hanya Ganjar-Mahfud yang terus ada di sentimen positif. Di sisi lain, Prabowo-Gibran terus berada di sentimen negatif.

Ketiga, khusus tentang Joko Widodo, Andi menerangkan hasil analitik media sosial TPN menunjukkan bahwa presiden cenderung di wilayah sentimen negatif, terutama sejak mengomentari debat capres bertema pertahanan.

Dalam sebulan terakhir, ujar Andi, sentimen negatif kepada Joko Widodo ada di angka (-62) persen dan tujuh hari terakhir bahkan menjadi (-93) persen.

Khusus hari ini, sentimen negatif pada Joko Widodo di ‘X’ atau Twitter terkait pernyataan di Halim kemarin menunjukkan minus 96 persen.

“Netizen menginginkan netralitas presiden dan tidak ingin Joko Widodo memiliki keberpihakan didasari konflik kepentingan karena anaknya menjadi cawapres dan ketua umum partai, sementara identitas partai Joko Widodo belum berubah,” urai Andi.

Andi menambahkan, suara-suara lain di media sosial menginginkan Joko Widodo fokus menyelesaikan masa jabatan keduanya sampai 20 Oktober 2024, terutama karena banyak persoalan dalam negeri maupun global yang perlu perhatian secara serius.

“Dari krisis ekonomi di Hong Kong, konflik Timur Tengah, sampai harga nikel yang terus turun memerlukan fokus presiden untuk dikerjakan, daripada ‘cawe-cawe’ urusan pemilu,” kata Andi.

Terkait wacana pertemuan Megawati dan Joko Widodo, Andi mengungkapkan pertemuan itu pasti terjadi setelah Ganjar-Mahfud menang pilpres. “Sebelum itu, kami fokus pada pemenangan pemilu pada 14 Februari 2024,” pungkasnya.

Butuh Figur Presiden Negarawan

Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis, dalam kesempatan sama menekankan, Indonesia menuntut sikap negarawan dari sosok Joko Widodo sebagai pejabat yang bisa mengayomi semua pihak di atas kepentingan kelompok, golongan, suku agama, dan partai politik.

“Presiden itu pertama menjadi negarawan, bukan politisi. Ketika dia maju sebagai capres, memang seorang politisi, tapi saat dilantik menjadi presiden, seharusnya menjadi negarawan,” kata Todung

Menurut Todung Mulya Lubis pernyataan Joko Widodo di Lanud Halim tidak biasa dan tidak pernah terjadi pada era presiden sebelumnya.

“Pernyataan ini sangat merisaukan karena bisa ditafsirkan sebagai pengingkaran sifat netral yang melekat pada diri presiden, yang juga bertindak sebagai kepala negara,” kata Todung.

Pengacara senior ini menggarisbawahi, Indonesia adalah negara hukum, maka konsekuensi logisnya, semua tindakan dan ucapan Presiden harus sesuai dengan hukum yang berlaku.

“Presiden tak boleh melakukan diskriminasi dalam menjalankan tugasnya. Jadi adalah aneh jika presiden mengatakan boleh berkampanye dan memihak, sebagaimana menteri juga boleh berkampanye, selama tidak menggunakan fasilitas negara,” tukasnya.

Todung menilai bahwa janji Joko Widodo sebelum ini untuk menjaga netralitas saat Pemilu menjadi hampa dan dinihilkan dengan pernyataan di Lanud Halim Perdanakusuma kemarin.

“Sebenarnya, gestur presiden saat mengundang tiga capres makan siang di Istana sangat positif. Sayang, sikap tidak memihak salah satu paslon itu dinegasikan sendiri oleh Joko Widodo. Padahal, publik menginginkan pemilu yang jujur, adil, dan imparsial,” urainya.

Todung pun menanggapi pernyataan Koordinaor Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana yang menjabarkan presiden boleh berkampanye sesuai UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Saya memahami pasal itu digunakan kalau presiden merupakan seorang petahana yang maju lagi untuk pemilihan periode berikutnya. Namun dalam konteks ini, Presiden Joko Widodo tidak sedang ‘running’ dalam kontestasi politik untuk periode ketiga pemerintahannya, sehingga seharusnya bisa menahan diri agar berada di atas semua calon,” jelasnya.

Dengan tidak menahan diri ikut berkampanye dan memihak, maka potensi konflik kepentingan menjadi sangat telanjang dan kasat mata. “Ini tidak adil dan tak sejalan dengan semangat hukum yang menjamin kesamaan warga negara dan menjamin tak adanya diskriminasi,” ucapnya.

Todung menyatakan, jika hal seperti ini terus dibiarkan, maka Indonesia mengalami regresi dalam berdemokrasi, sekaligus kemunduran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Tak ada alasan untuk menjustifikasi keberpihakan presiden dalam kontestasi politik, karena akan mencederai integritas serta menggerus netralitas pemilu dan pilpres itu sendiri,” pungkasnya.

Tidak Paham Kemuliaan Kepala Negara

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Gerakan Bhineka Nasionalis, Lukas Luwarso dalam keterangan tertulisnya kepada Harian Indonesia menyebut bahwa Jokowi tidak memahami konsep noblesse oblige atau kemuliaan perilaku sebagai kepala negara, sehingga tidak merasa malu mendukung puteranya sendiri di ajang Pilpres 2024.

Menurut Lukas, sebagai kepala negara ia mustinya tahu apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan, bahkan sekalipun hukum tidak melarang secara tegas.

“Dia berkampanye untuk memenangkan anaknya, yang dicawapreskan dengan cara curang. Ini adalah rangkaian permainan politik licik, yang tidak punya rasa malu dan tidak mau tahu prinsip2 sebagai kepala negara yang jurdil, prinsip demokrasi, prinsip fairness, dan imparsialitas.” tegas mantan Anggota Dewan Pers ini.

Ditambahkan Lukas, seluruh konstruksi logika politik culunnya Jokowi adalah bagaimana mengakali dan menyalahgunakan posisinya sebagai Presiden untuk memenangkan anaknya, dengan segala cara. (*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan
Exit mobile version