Silaturahmi Tokoh Muda Nasional, Bahas Damai Pasca Pemilu

  • Bagikan

BOGOR, harianindonesia.id – Sejumlah Tokoh Muda Nasional dari berbagai daerah di Indonesia melakukan diskusi tertutup yang membahas situasi politik dan masyarakat setelah Pemilu 2019.

Diskusi tersebut bertajuk “Silaturahmi Bogor Untuk Indonesia” berlangsung di Museum Kepresidenan Balai Kirti, Bogor, Jawa Barat, Rabu, (15/05/2019)

Dalam acara tersebut turut hadir tokoh-tokoh seperti Direktur eksekutif Yudhoyono Institute, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur NTB Zulkieflimansyah, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Walikota Tanggerang Selatan Airin Rachmi Diany.

Kehadira para tokoh dari berbagai partai politik ini, menjadi sebuah keunikan, Bima Arya pun menanggapi santai hal tersebut, dengan menyebut karena terkait urusan bangsa dan negara, masing-masing tokoh yang hadiri ini lupa dari partai mana. “Semua ditujukan pada persoalan bangsa bersama,” katanya.

Prabowo Dihimbau Sebaiknya Tempuh Mekanisme yang Berlaku

Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid mengimbau semua pihak menghormati proses Pemilu 2019. Menurutnya, jika memang  ada ketidakpuasan terkait hasil Pemilu 2019, maka sudah sewajarnya untuk mengajukan keberatan melalui mekanisme yang berlaku. Imbauan tersebut ia utarakan karena akhir-akhir ini indikasi pergerakan massa yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu 2019, terus menguat. Ia khawatir, pengerahan massa akan dibalas dengan pengerahan massa juga, yang akhirnya menimbulkan konflik.

Dirinya pun mengungkapkan tidak ingin hal tersebut terjadi . “Padahal kan sudah ada mekanisme damai yang telah disepakati bersama,” ujar Yenny. Terkait istilah people power, Yenny menyebut istilah tersebut sudah muncul sedari lama, pernah pula terjadi tahun 1998 silam. Namun, menurut Yenny people power dulu dan sekarang kondisi sosial politiknya jelas berbeda.

“People power saat ini hanya dikarenakan persoalan residu pilpres, jelas berbeda dengan dulu,” ungkapnya. Ia menjelaskan, jika artian people power hanya dalam konteks menghimpun massa jelas tidak dilarang, bahkan dijamin Undang-Undang (UU). Namun, jika pengerahan massa dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, itu sudah bentuk tindakan melanggar konstitusional. “Definisinya harus jelas, people power seperti apa,” sebutnya.

Sementara, AHY yang juga merupakan Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat, mengungkapkan keheranannya apabila ada pihak yang secara terang-terangan tidak mempercayai dan menolak hasil Pemilu 2019.

Menurutnya, mekanisme Pemilu 2019 yang dijalankan ini merupakan kesepakatan dari kedua kubu, baik paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf) dan Prabowo-Sandiaga, beserta parta-partai yang mendukung kedua paslon ini. Sehingga, apabila ada salah satu yang tidak mempercayai mekanisme Pemilu 2019, menurutnya aneh.

“Kalau tidak mau menggunakan mekanisme Pemilu kenapa disepakati dari awal? Kalau maunya turun ke jalan, kenapa harus ada pemilu, kenapa ada pileg? Langsung aja turun ke jalan. Ini kan negara hukum,” cetus AHY.(DH)

  • Bagikan
Exit mobile version