Pengamat Pertanyakan Belanja Tambahan Alutsista Bekas Kemhan Sampai Sebesar Rp 385 Triliun, Untuk Apa?

  • Bagikan

IKRAR NUSA BAKTI

Jakarta, HARIANINDONESIA.ID –

Pengamat Politik Ikar Nusa Bakti mempertanyakan anggaran tambahan untuk pembelian Alat Utama Sistem Senjata Tentara (Alutsista) Nasional Indonesia Bekas di Kemenhan yang mencapai Rp385 triliun.

“Sekarang gini dulu ya, pertanyaan besarnya adalah pembelian pesawat-pesawat itu tujuannya apa? Kalau katanya ini untuk mengganti pesawat TNI karena masa baktinya sudah habis, kenapa membeli pesawat bekas?,” tanya Pengamat Politik yang juga mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Tunisia, Ikrar Nusa Bhakti, di Jakarta, Jumat (5/1/2024).

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), belanja modal Kementerian Pertahanan (Kemhan) sepanjang tahun 2023 mencapai Rp 70,9 triliun atau naik 36% dibandingkan tahun 2022, yang sebesar Rp 52,1 triliun.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyebutkan, di luar anggaran yang diberikan pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Kemhan juga melakukan belanja alutsista dari pinjaman luar negeri untuk periode 2020-2024 senilai US$25 miliar atau setara Rp 385 triliun.

Masalah anggaran pertahanan dan membengkaknya utang pinjaman luar negeri Indonesia dipertanyakan Ikrar menyusul rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menyelenggarakan Debat Ketiga Calon Presiden – Calon Wakil Presiden di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (7/1/2024).

KPU tema Debat Calon Presiden – Calon Wakil Presiden adalah “Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, Globalisasi, Geopolitik, dan Politik Luar Negeri.”

Ikrar juga mempertanyakan, apakah benar pembelian Alutsista bekas karena dinamika geopolitik di Laut Tiongkok Selatan. Padahal, kata dia, situasi sedang tidak perang.

“Harus diingat, Indonesia bukan negara preclaimed seperti Filipina. Walaupun kita mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Kepulauan Natuna, hubungan Indonesia dan Tiongkok sangat baik, tidak bermusuhan. Dan, Indonesia juga menentang ketegangan di Laut Tiongkok Selatan,” ujar mantan Dubes Republik Indonesia untuk Republik Tunisia itu.

Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia pernah menolak hibah pesawat Mirage bekas dari Qatar atas pertimbangan biaya perawatan yang mahal dan besar kemungkinan Indonesia menjadi tergantung pada ketersediaan suku cadang pesawat di negara itu.

“Dulu, menolak Mirage karena biaya maintenance mahal, pembelian pesawat lain yang juga bekas, sama saja usianya paling lama berapa tahun? Kemudian, berapa biaya empowering pesawat-pesawat bekas itu? Dari pada memperbaiki kenapa tidak beli pesawat tempur F16 yang baru, mungkin harganya mahal, tapi masih baru. Dari pada empower pesawat tua,” ujar dia.

Sesuai Kemajuan Teknologi

Secara terpisah, Founder Makara Strategic Insight (MSI Research) Andre Priyanto mengungkapkan keprihatinannya atas keputusan Pemerintah membeli alutsista bekas. Dikatakan, sistem pertahanan negara baik dalam keadaan perang atau tidak berperang tetap harus dilengkapi Alutsista sesuai kemajuan teknologi.

“Seharusnya, yang kita beli alutsista baru, bukan yang bekas. Namanya saja teknologi, ya kita harus ikut perkembangannya. Perkembangan teknologi itu kan sebuah keniscayaan, pasti berubah,” kata Andre di Jakarta, Jumat (5/1/2024).

Alumni Kajian Strategic Intelligence SKSG Universitas Indonesia (UI) menyatakan, pembelian alutsista bekas sebaiknya menjadi peluang Indonesia untuk belajar dan mereplikasi.

“Beli bekas untuk alih teknologi, kemudian kita produksi sendiri. Kan kita punya PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia. Mengapa kita tidak meniru cara Tiongkok? Kita ambil barang dari luar, kita amati, tiru, dan modifikasi, lalu produksi di dalam negeri,” ujarnya.

Andre berpendapat, bahwa memproduksi alutsista di dalam negeri akan memiliki sejumlah keuntungan, baik secara pertahanan, maupun ekonomi.

“Itu kan malah bagus. Secara pertahanan, teknologinya kita punya sendiri. Kedua, kita juga bisa jual ke negara lain, dapat keuntungan. Ini lebih masuk akal dibanding beli Alutsista bekas.

Seperti Amerika Serikat untuk membangun sistem kedirgantaraannya, mereka memproduksi pesawat tempur melalui teknologi militer yang dijual untuk publik. Seharusnya kita meniru itu, karena secara SDM, di Indonesia banyak orang pintar,” kata Andre.

Diplomasi Mumpuni Pembelian Alutsista

Ketua DPP Partai Perindo Bidang Hankam sekaligus pengamat intelijen dan Hankam, Susaningtyas Nefo Handayani Kertapati mengatakan, Indonesia membutuhkan diplomasi pertahanan yang mumpuni dalam pembelian alutsista.

Menurut dia, diplomasi pertahanan sangat penting dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemhan), sehingga melahirkan perjanjian dan skema pengadaan alutsista yang sesuai dengan kebutuhan dan tidak merugikan Indonesia.

“Untuk perjanjian dan skema pengadaan alutsista antara Indonesia dan negara pemilik alutsista, tentu ada syarat. Disini lah peran Kemhan dalam diplomasi pertahaan sangat diperlukan agar tidak ada syarat yang merugikan Indonesia,” kata perempuan yang akrab disapa Nuning itu.

Dia menjelaskan, Indonesia tentu saja membutuhkan alutsista untuk pertahanan dan keamanan di seluruh wilayah NKRI. Meski demikian, pembelian alutsista tidak mudah dilakukan karena bukan seperti barang ritel yang produksinya selalu tersedia.

Selain itu, negara produsen atau yang memiliki alutsista juga mempertimbangkan iklim politik luar negeri dan keamanan, sehingga tidak serta merta memutuskan menjual kepada negara tertentu, termasuk Indonesia.

Itu sebabnya, pembelian alutsista bekas sangat mungkin terjadi dengan pembayaran atau skema barter.

“Yang harus dikritisi adalah jangan sampai alutsista dibeli dengan skema mark up untuk kepentingan perseorangan, apalagi politik praktis,” ujar Nuning.

Berdasarkan paradigma Defensif-Aktif, lanjutnya, efektivitas pola operasi militer TNI harus dilengkapi Alutsista yang tepat.

Para Prajurit TNI sebagai prajurit yang profesional juga harus dididik dengan baik, dilatih dengan baik, dilengkapi alutsista yang baik, dan diberi gaji yang memadai.

Pemilihan dan pengadaan alutsista yang tepat menjadi proses yang sangat penting. Mekanisme pemilihan alutsista yang tepat juga ditunjang dengan teknologi dalam bentuk riset dan industri pertahanan.

Melalui riset yang berkelanjutan, maka pemilihan alutsista yang tepat sesuai operational requirement dan technical specification.

Nuning menambahkan, proses pengadaan alutsista harus berbasis operational requirements dan technical specification yang telah ditetapkan.

“Alokasi anggaran alutsista yang terukur sesuai tahapan proses pengadaan menjadi faktor kunci diperolehnya alutsista yang tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat mutu,” tutur Nuning. (*)

Awaluddin Awe

  • Bagikan
Exit mobile version