JOKOWI Akui Data Penerima Bansos tidak Sinkron

  • Bagikan

Ilustrasi

Jakarta, HARIAN Indonesia.ID  ‐‐ Persoalan penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak COVID -19 yang berbelit belit akhirnya diketahui disebabkan oleh tidak sinkronnya antara data pusat dan daerah.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui data penerima bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat yang mengalami tekanan ekonomi akibat virus corona atau Covid-19 tidak sinkron antara pemerintah pusat dengan daerah. Hal ini menjadi salah satu penyebab lambatnya penyaluran bansos ke masyarakat. 

“Memangnya ada data yang tidak sinkron,” ungkap Jokowi dalam rapat terbatas melalui video conference, Selasa (19/5) seperti dikutip CNNIndonesiacom

Menurutnya, persoalan data sebenarnya bisa diselesaikan bila pemerintah pusat dan daerah melakukan koordinasi yang lebih erat. Misalnya, melalui koordinasi dengan para aparat terkecil pada kawasan yang disasar, seperti kepala desa dan RT/RW. 

Tak hanya soal data, koordinasi dengan mereka pun bisa membuat penyaluran bansos jadi lebih cepat. “Saya kira bisa melibatkan rakyat dilibatkan RT, RW, desa, buat mekanisme yang lebih terbuka transparan sehingga semuanya tidak segera diselesaikan baik itu yang namanya BLT Desa yang namanya bantuan sosial tunai,” jelasnya. 

Di sisi lain, persoalan akuntabilitas data juga bisa dikoordinasikan dengan menggandeng lembaga pengawas lain, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP), hingga Kejaksaan. Tujuannya, agar penyaluran lebih tepat sasaran. 

“Untuk sistem pencegahan, minta saja didampingi dari KPK, dari BPKP, dari Kejaksaan, saya kira kita memiliki lembaga-lembaga untuk mengawasi dan mengontrol atau tidak terjadi korupsi di lapangan,” katanya. 

Diluar masalah data, Jokowi menyebut penyaluran bansos juga memiliki prosedur yang berbelit. Hal ini membuat bansos tidak bisa cepat diterima masyarakat, meski kondisi pandemi corona menekan mereka. 

Prosedur yang berbelit ini, sambungnya, kerap ditemukan di lapangan. Untuk itu, ia meminta para jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju agar bisa menyederhanakan prosedur penyaluran bansos agar lebih cepat sampai ke tangan masyarakat. 

“Saya minta aturan itu dibuat sesimpel mungkin, sederhana mungkin, tanpa mengurangi akuntabilitas, sehingga pelaksanaan di lapangan bisa fleksibel,” tuturnya.

Di masa pandemi corona, Jokowi membuat dua program penyaluran bansos untuk masyarakat. Pertama, berupa bansos tunai berupa paket sembako setara Rp600 ribu per penerima per bulan selama tiga bulan. 

Bansos ini diberikan kepada masyarakat di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sasarannya 1,2 juta keluarga penerima di Jakarta dan 576 keluarga penerima di Bodetabek. 

Anggaran bansos tunai diambil dari paket stimulus ekonomi dengan jumlah mencapai Rp405,1 triliun. Alokasi dana bansos tunai berupa paket sembako berkisar Rp25 triliun. 

Kedua, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa yang anggarannya diambil dari Dana Desa. Pada program ini, pemerintah memberikan Rp600 ribu per penerima per bulan selama tiga bulan. 

Bantuan ditujukan untuk masyarakat desa yang kehilangan mata pencaharian di tengah pandemi corona dari anggaran Dana Desa. Selain itu, penerima juga ditujukan bagi mereka yang belum menerima program bansos lain dari pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Paket Sembako.

Sebelumnya, banyak pihak yang memberi komentar pro dan kontra soal kebijakan bansos pemerintah di tengah pandemi virus corona atau Covid-19. Salah satunya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau yang akrab disapa Emil. 

Emil meminta pemerintah pusat membenahi data warga penerima bansos karena tidak sinkron di tingkat internal pemerintah pusat. Bahkan, tak sinkron juga dengan pemerintah daerah.

“BPS (Badan Pusat Statistik) punya survei sendiri, Kemensos punya survei sendiri, Kementerian Desa juga punya survei sendiri. Itu jadi salah satu masalah di Indonesia yaitu ketidaksinkronan data antara pusat dan daerah,” kata Emil.

Emil juga menyinggung soal pembagian sembilan jenis bantuan kepada masyarakat, yakni bantuan untuk korban PHK, Kartu Sembako, Bansos Presiden Bodebek, Kartu Prakerja, Dana Desa, Bansos Tunai, Bansos Provinsi, Bansos Kabupaten/Kota dan Bantuan Makan atau Nasi Bungkus.

“Mereka (masyarakat) mengira bantuan itu satu pintu, padahal tanggung jawab kita cuma satu (Bantuan Pemprov Jabar), kepala desa protes ke kami, masalah ketidakadilan ini dampak dari tidak akuratnya data,” keluhnya.

(awe)

  • Bagikan
Exit mobile version