Buku “Tragedi Kanso Trauma Etnisitas Cina di Pariaman 1945”, Buka Sejarah Pembantaian Cina di Pariaman

  • Bagikan

KETUA DPD SatuPena Sumbar Sastri Bakry menyerahkan Piagam Penghargaan kepada Walikota Pariaman Genius Umar yang telah mendukung peluncuran buku Tragedi Kanso yang ditulis wartawan Armaidi Tanjung di Aula Balaikota Pariaman, Sabtu (19/8/2023). (Foto : Kiriman)

PARIAMAN (Harianindonesia.id) – Wartawan senior Sumbar Armaidi Tanjung menulis sebuah buku kontroversial yang mengungkap kisah Pembantaian orang Cina di Pariaman yang menjadi alasan etnis Cina takut tinggal di Pariaman sampai sekarang.

Buku berjudul Tragedi Kanso Trauma Etnisitas Cina di Pariaman 1945 ditulis berdasarkan pengakuan sejumlah saksi hidup.

Buku Armaidi Tanjung ini dibedah dalam satu diskusi hangat di Aula Pemko Padang Pariaman dengan menampilkan Walikota Pariaman Dr Genius Umar, S.sos, MSi sebagai keynote speaker, Sabtu (19/8/2023).

Selain itu, buku penulis produktif asal Pariaman ini dibedah oleh penulis kawakan Free Hearty dan sastrawan kawakan Sumbar Hasanuddin.

Walikota Pariaman Dr Geniua Umar dalam pidatonya menyatakan, bahwa Bedah buku Tragedi Kanso merupakan kegiatan yang mampu menambah pengetahuan kita semua tentang sejarah China di Pariaman.

Pemko Pariaman, tegas Genius, hingga saat ini tidak menolak siapa pun yang datang dan berinvestasi di Kota Pariaman.

Karena sejak zaman dahulu, sudah ada beberapa etnis luar yang tinggal di Kota Pariaman dan hal ini telah dibuktikan dengan adanya beberapa nama tempat seperti Kampung Cina, Kampung Jawa bahkan kuburan Cina pun ada di Kota Pariaman.

Dengan diluncurkannya buku ini, papar Genius Umar, pengetahuan kita akan bertambah tentang bagaimana Cina dulu di Pariaman.

“Dan yang lebih penting lagi adalah apabila kita ingin terus maju, jangan pernah bosan dalam membaca. Buku adalah pembawa peradaban. Tanpa buku, sejarah itu sunyi, pemikiran dan spekulasi terhenti. Buku adalah mesin perubahan, jendela di dunia, mercusuar yang didirikan di lautan waktu,“ kata Genius menambahkan.

Sementara itu, Pembedah buku Free Hearty mengungkapkan, setelah membaca buku Tragedi Kanso ini, dia seperti menemukan sesuatu yang hilang.

Pengakuan dia, saat berumur 7 dan 10 tahun masih tinggal di Kuraitaji Pariaman ada tumbuh perasaan kebencian pada orang Cina yang luar biasa.

Dengan perasaan tersebut, kata Free, dari lima benua yang dia kunjungi selalu belajar dan ingin tahu tentang Cina di negara tersebut.

Di Australia, sebutnya, kedatangan orang Cina selalu diusir penduduk setempat. Tetapi dengan gigih mereka masuk berdagang, menanam sayur, bahkan di tanah gersang berpasir, bisa tumbuh subur dengan tanaman.

“Akhirnya orang Cina diterima juga oleh warga Australia, karena memberi manfaat,” kata Free Hearty, mantan dosen Universitas Al-Azhar yang sudah banyak menulis buku ini.

Di Medan, katanya, Cina mendekati penjajah supaya bisa lebih eksis. Tetapi Orang Cina tak peduli dengan kemerdekaan RI. Mereka hanya mencari keuntungan saja. Sehingga berkhianat terhadap perjuangan bangsa Indonesia.

“Tapi ada juga Cina yang ikut membela kemerdekaan Indonesia,” kata Free.

Dikatakan Free, setelah membaca buku ini, bertemu benang merahnya. Orang Cina itu rajin, gigih, kerja keras, cari keuntungan, tapi bukan sepihak saja.

Satu hal ditegaskan oleh Free, bahwa walaupun Cina lari dari Pariaman, tapi tak ada hartanya (barang) yang hilang. “Semua asetnya tidak diganggu orang Pariaman ketika terjadi peristiwa Kanso. Berbeda dengan daerah lain, kerusuhan terhadap Cina, asetnya dirampas begitu saja,” kata Free.

Peralihan asset Cina yang ditinggalkan setelah eksodus dari Pariaman, kata Free, tetap saja dibeli kepada pemiliknya yang sudah berada di luar Pariaman.

Armaidi Tanjung menambahkan, semua aset orang Cina yang ditinggal pergi di Pariaman tetap dibeli secara sah oleh warga setelah.

“Artinya aset Cina di Pariaman tidak pernah dirampas begitu saja. Tetapi dibeli oleh warga setempat melalui lobi lobi terlebih dahulu,” ujar tambah Armaidi Tanjung.

Sastrawan dan Dosen Universitas Andalas, Hasanuddin menyebutkan, bahwa Pariaman sejak abad ke- 16 telah menjadi pelabuhan/bandar lalu lintas yang ramai dan damai. Kota pantai itu tumbuh menjadi kota heterogen, plural bahkan multikultural.

Nama-nama kampung yang ada menunjukkan realitas faktual demikian. Sebutlah Kampung Cino (kampung komunitas Cina atau Tionghoa), Kampung Nieh (Kampung komunitas etnik Nias), Kampung Jawo (kampung komunitas etnik Jawa), Kampung Kaliang (kampung komunitas etnik India), kampung komunitas lainnya seperti Arab dan Eropa, kata Hasanuddin

Ketua DPD SatuPena Sumbar Sastri Bakry mengatakan bedah buku ini merupakan pelaksanaan salah satu program kerja SatuPena Sumbar.

Sebelum ini, kata Sastry, diselenggarakan pelatihan menulis, peluncuran buku di Malaysia, dan bedah buku serta wisata literasi ke dalam maupun ke luar negeri.

“Bedah buku Tragedi Kanso yang ditulis Sekretaris DPD SatuPena Sumbar Armaidi Tanjung patut diapresiasi. Sebelum ini belum ada buku yang ditulis terkait peristiwa kanso yang terjadi tahun 1945 di Pariaman,” kata Sastri yang juga rang Pariaman ini.

Dikatakan Sastri, bedah buku ini memberi manfaat bagi kita dan orang luar. Kita semakin tahu bagaimana kronologis terjadinya peristiwa Kanso tersebut.

.

Ketua Panitia Andri Satria Masri menyebutkan, bedah buku dipandu moderator Yurnaldi, wartawan utama. Kegiatan ini diselenggarakan sekaligus dalam rangka memperingati HUT ke-78 RI di Kota Pariaman.

Audien yang hadir kelihatan antusias bertanya dan menggugat kehadiran buku yang sejak awal kehadirannya ada pro dan kontra.

Setelah mendengarkan penjelasan Wako Pariaman, narasumber dan penulis buku telah membuka pikiran mereka tentang etnis China di Pariaman. (*)

Rilis

  • Bagikan
Exit mobile version