Etika Pemerintahan Yang Baik Dari Tokoh Ibnu Khaldun

  • Bagikan

Etika pemerintahan pada zaman sekarang ini merupakan salah satu yang menjadi sorotan di mata masyarakat Indonesia.

Berbicara tentang etika artinya berbicara tentang sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma yang ada, baik itu norma agama, kesusilaan maupun norma hukum.

Etika pemerintahan mengacu pada para pemimpin dan para pejabat birokrasi di pemerintahan itu sendiri.

Hal ini menjadi sebuah standar dan memiliki apa yang disebut dengan kode etik agar mereka dapat menyesuaikan tingkah laku dan sikap mereka sebagai pemimpin dan pelayan publik.

Etika pemerintahan ini sangat penting karena jika kita melihat fungsi dari etika pemerintahan ini dalam praktek penyelenggara pemerintahan itu sebagai referensi, pedoman dan acuan untuk dapat menilai apakah keputusan dan tindakan ataupun kebijakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan itu baik atau buruk, terpuji ataupun tercela.

Etika pemerintahan bukan hal baru dalam dunia ini.

Dari zaman dahulu pun sudah ada etika pemerintahan yang patut dan menjadi teladan bagi pemimpin dan kita semua salah satunya toko Islam yaitu Ibnu Khaldun.

Ibnu Khaldun nama aslinya adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khaldun.

Beliau lahir di Tunisia, Afrika Utara pada 1 ramadhan 732 H atau 7 Mei 1332 M. Ibnu Khaldun berasal dari suku arab Yaman Selatan.

Sejak abad ke-8, nenek moyangnya sudah imigrasi ke Andalusia yaitu Spanyol selatan. Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua per tiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut yang sekarang ini terletak di ujung selatan Spanyol.

Pada zaman itu, kawasan-kawasan tersebut tidak pernah mengalami stabilitas politik karena beberapa kawasan tersebut menjadi ajang perebutan kekuasaan antar dinasti sehiggga kawasan-kawasan tersebut sebagian darinya sering kali berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti lainnya.

Kondisi politik ini berimplikasi pada kehidupan dan karier politik Ibnu Khaldun sebagai pejabat tinggi negara, baik saat menjabat Perdana Mentri, protokoler atau Hakim Agung pada beberapa pemerintah atau dinasti.

Tidak jarang Ibnu Khaldun berganti loyalitas dari satu dinasti ke dinasti lainnya atas dasar kalkulasi untung rugi politik.

Dampak dari situasi yang tidak menentu itu berimplikasi pada pendirian Ibnu Khaldun harus menempuh jalan pragmatis demi keselamatan jiwa dan karier politiknya sehingga Ibnu Khaldun terbawa arus ke situasi politik yang sarat degan kudeta dan perebutan kekuasaaan. Dan Ibnu Khaldun sendiri melibatkan diri sebagai aktor dalam percaturan politik di kawasan kawasan tersebut.

Sebagiamana disebutkan bahwa Ibnu khaldun meniti kariernya dalam pemerintahan di kawasan Afrika Barat laut dan Andaluasia selama hampir seperempat abad.

Jabatan pemerintahan pertama yang diraih Ibnu Khaldun yang cukup berarti baginya adalah keanggotaan majelis imuwan (‘Udhwan fiy Majlisi Al-‘ilmiy) yaitu lembaga ilmu pengetahuan Sulthan Abu Inan dari Bani Marin di ibu kota Negara Maroko pada tahun 756 H.

Kemudian, dia diangkat menjadi salah satu sekretaris Sulthan kalau zaman sekarang di sebut dengan jabatan Sekretaris Negara yang bertugas mencatat semua keputusan Sulthan.

Tetapi jabatan itu dianggap masih terlalu rendah oleh Ibnu Khaldun bagi anggota keluarga Ibnu Khaldun, karena mungkin Ibnu Khaldun berasal dari kelurga terhormat.

SIMAK JUGA :  Menemukan Kembali Serambi Mekkah dari MTQ Nasional di Padang Panjang

Belum cukup dua tahun Ibnu Khadun memangku jabatan, dia dipecat dari jabatannnya.

Jika Ashabiyah merupakan kekuatan yang bersifat fisik yang bisa digunakan untuk melindungi atau mengusir tindak kejahatan ataupun ancaman, Ibnu Khaldun tidak merasa cukup dengan kekuatan yang bersifat fisik saja.

Ibnu Khladun melihat aspek lain yaitu kekuatan yang bersifat non fisik (Al Quwwah Al Maknawiyah) yang difokuskan pada akhlak dan agama (Al Akhlaq Wa Al Din), karena akhlak dan agama merupakan kekuatan yang bersifat non fisik yang memiliki pengaruh kuat pada jiwa setiap individu manusia dan oleh karenanya memunculkan gerakan sosial keagaamaan yang kuat.

Dalam kasus-kasus tertentu, orang mau berkorban jiwa ataupun harta demi mempertahankan agama yang diyakini benar atau berjuang berdasarkan legitimasi agama.

Dalam konteks ini, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa jika seorang Kepala Negara secara tabiatnya adalah manusia, karena secara fitrah manusia tidak dapat terhindar dari kehidupan masyarakat.

Ibnu Khaldun menerangkan bahwa orientasi akhlak ini menjadi keharusan bagi Kepala Negara dalam arti berperilaku baik dan melakukan tindakan-tindakan terpuji adalah sesuatu yang asas.

Atas dasar ini, Ibnu khaldun mengaitkan politik dengan akhlak dan agama (Al Siyasah Bi Al Akhlak Wa Al Din) dalam rangka menata kehidupan perpolitikan untuk mencapai kebaikan (sholahiyah).

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa negara-negara besar yang telah mendominasi negara-negara kecil dan dipimpin oleh seorang Kepala Negara, dimana kekuasaannya berdasarkan legitimasi agama baik itu karena dakwah atau kebenaran, hal ini akan memperoleh kesuksesan.

Dalam buku pemikiran politik Islam yang ditulis oleh Dr. Sirojuddin Aly, M.A dikisahkan Ibnu Khaldun pernah terlibat satu konspirasi politik tingkat tinggi dengan Pangeran Abu Abdullah Muhammad dari Vani Hafsh yang menyebabkan Ibnu Khaldun masuk penjara.

Sebelum ini, Pangeran Abu Abdullah seorang raja yang bertahta di Tunisia dan setelah wilayah Tunisia diserang dan dikuasai oleh Bani Marin, Abu Abdullah diturunkan dari tahtanya dan diasingkan ke Fez (Ibu kota Maroko).

Pada akhirnya, Ibnu Khaldun dituduh melarikan Pangeran Abu Abdullah dari penjara untuk kemudian dikembalikan kepada posisinya semula sebagai Raja di Tunisia.

Tetapi konspirasi ini terbongkar dan Ibnu Khaldun ditangkap dan dimasukkan ke penjara selama dua tahun.

Kemudian Sulthan Abu Inan mengeluarkan Abu Abdullah dari penjara, tetapi ibnu khaldun tetap mendekap di dalam penjara.

Upaya pengampunan bagi Ibnu Khaldun diajukan kepada Sulthan dan kemudian Sulthan Abu Inan menjanjikan pengampunan Ibnu Khaldun tetapi Sultahn Abu Inan tengah sakit dan tak lama meningggal pada tahun 759 H.

Perdana Menteri Hasan bin Umar mengambil alih roda pemerintahan sebagai pejabat sementara saait itu dan mengeluarkan perintah untuk membebaskan Ibnu Khaldun bersama dengan tahanan politik lainnya.

Bahkan Ibnu Khaldun dikembalikan ke jabatannya semula sebagai Sekretaris Negara.

Ibnu khaldun mengabdikan diri kepada pemerintahan Bani Marin di Fez selama delapan tahun.

Etika pemerintahan yang dapat dianalisis adalah kesabaran, kesetiaan dan keloyalitasan dari Ibnu khaldun terhadap penguasa saat itu yang tergolong sangat akuntabilitas hingga dipercaya hingga beberapa dekade.

Oleh : M Nur Akhyar, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Credit photo: https://procurement-academy.com/ethics-procurement/

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *