FAKHRIZAL : Saya Keturunan Panglima Perang Kamang, Tak Mungkin Khianati Rakyat Sumbar

  • Bagikan

PADANG – Calon Gubernur Sumbar bernomor urut 3, Irjen Pol (P) Drs H Fakhrizal,MHum kembali membuka jatidirinya kepada publik, sebagai bagian dari sejarah kehidupan keluarga besarnya, khusus dari garis Ayahnya, Sabri.

“Kakek Buyut saya Syech H. Abdul Manan adalah Panglima Perang Kamang. Beliau tewas dalam peperangan. Perang Kamang itu sendiri adalah bentuk perlawanan rakyat atas penerapan pajak (Belasting) yang sangat tidak masuk akal. Jadi dengan sejarah itu tidak mungkin saya punya DNA mengkianati Rakyat Sumbar,” kata Fakhrizal kepada wartawan di Padang, Senin (12/10).

Fakhrizal mengaku sengaja membuka sejarah besar keluarganya, sebagai alasan untuk menangkal serangan politis yang banyak dilakukan pihak tertentu, terutama saat dirinya masih menjabat sebagai Kapolda Sumbar selama 3 tahun lalu.

Menurut Fakhrizal, kakek buyutnya mendedikasikan hidup dan matinya untuk melawan penerapan pajak terlalu tinggi untuk rakyat.

“Jadi, dengan mengungkapkan sejarah kakek buyut saya ini, sudah pasti di DNA saya tidak ada jiwa menyakiti apalagi mengkianati rakyat. Justru yang ada itu sikap membela rakyat, bukan mengkianatinya,” papar Fakhrizal.

Fakhrizal juga menjelaskan alasan mengapa harus dirinya sendiri yang menjelaskan hubungan darahnya dengan Panglima Kamang, supaya masyarakat percaya dan tidak merasa di politisasi oleh kelompok tertentu.

Suami Ade Fakhrizal, asal Sungai Sirah, Padang Pariaman ini, menyatakan bahwa dirinya memang baru memasuki dunia politik praktis di Pilkada ini. Tetapi sebagai orang yang sudah makan garam di kepolisian, Fakhrizal tak ingin karirnya dijadikan black campaign.

“Lillahi Taalla, tak ada tujuan saya bertugas ke Sumbar untuk menyakiti hati rakyat Sumbar. Bahwa ada satu dua saya tindak karena memang bersalah dan itu diakui secara pribadi kepada saya,” papar Fakhrizal lagi.

Niatnya maju menjadi gubernur Sumbar, aku Fakhrizal, selain meneruskan pengabdian juga ingin menyelesaikan banyak persoalan yang masih terbengkalai sampai sekarang. “Saya memang tidak lama tinggal di Sumbar tetapi saya sangat setuju pemberlakuan sistim pemerintahan Propinsi yang mendukung pemberlakuan ABSSBK untuk semua tingkatan,” jelasnya.

Selain itu, Fakhrizal juga menyebut dirinya akan membangun kembali kebanggaan urang Minang dalam pentas nasional. “Kita harus duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan propinsi lain, dan mendapatkan perhatian bagus dari pusat kembali,” ujar Fakhrizal.

SIMAK JUGA :  Arsyad Respon Mosi tak Percaya Ramal Saleh sebagai Ketua Kadin Sumbar

Sebagai putra daerah Sumbar, Fakhrizal mengaku dirinya sangat tertantang untuk melakukan perbaikan dan peningkatan disegala bidang, terutama sekali dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.

“Sebab tujuan utama dalam pembangunan satu daerah adalah bagaimana sumberdaya manusianya bagus dulu, baru kemudian kesejahteraanya bisa diangkat,” kata Fakhrizal mengakhiri.

Sekilas Perang Kamang

Perang belasting merupakan perang bersenjata pada 15-16 Juni 1908 yang melibatkan rakyat Sumatra Barat melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda akibat penerapan pajak (bahasa Belanda: belasting) langsung kepada masyarakat.

Perlawanan masyarakat atas pemberlakuan pajak langsung ini dibalas oleh pemerintah Hindia Belanda dengan reaksi keras mengirimkan marechaussee (marsose) ke daerah konflik tersebut, yang akhirnya menimbulkan korban jiwa pada masyarakat maupun tentara kolonial.

Perang belasting ini diawali di Kamang, kemudian menyebar pada kawasan lain seperti Manggopoh, Lintau Buo dan lain-lain.

Perang Kamang merupakan peperangan yang terjadi di Kamang, Agam tahun 1908 akibat penerapan pajak (belasting) kepada masyarakat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Daerah Kamang berada sekitar 16 km dari Fort de Kock dan sebelumnya merupakan basis kekuatan dari Tuanku Nan Renceh pada masa Perang Padri.

Perang ini diawali oleh gerakan protes petani terhadap pemerintah Hindia Belanda atas pajak tanah termasuk pajak atas hewan ternak yang dibebankan kepada mereka. Masyarakat Kamang menolak pembayaran pajak tersebut dan kemudian pada 15-16 Juni 1908 puncaknya pecah perang bersenjata antara masyarakat dengan pemerintah kolonial. 

Perang ini dipelopori oleh Syekh H. Abdul Manan, yang gugur dalam peperangan tersebut, sementara anaknya H. Ahmad Marzuki ditangkap oleh tentara Belanda. 

Akibat peperangan ini hampir 100 orang mati tertembak, sementara korban pada pihak tentara kolonial sebanyak 12 orang mati dan lebih kurang 20 orang luka-luka.

Dikabarkan pula, kuda neneknya Mohammad Hatta juga ditembak sewaktu Perang ini terjadi. Si Nenek kemudian datang ke gedung residen Padang pada waktu itu, dan memarahi sang Residen. Amrin Imran mencatat Nenek Mohammad Hatta sebagai orang yang mudah marah.

Perang Kamang kemudian memicu Perang Manggopoh yang terjadi di Manggopoh, Sumatra Barat dipimpin oleh Siti Manggopoh. Munculnya perlawanan masyarakat di Manggopoh dipengaruhi oleh perlawanan masyarakat di Kamang. Akibat peperangan ini 53 orang tentara kolonial mati terbunuh, sementara korban pada masyarakat sebanyak 7 orang mati dan 7 orang ditangkap termasuk Siti Manggopoh.

Awaluddin Awe
(dari berbagai sumber)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *