Kilas Balik Kampanye Hitam Pemilu Indonesia

  • Bagikan

JAKARTA, harianindonesia.id – Kampanye hitam alias black campaign susah dihapus dalam sistem demokrasi, termasuk di Indonesia. Redaksi harianindonesia.id menurunkan tulisan yang pernah dimuat di situs historia.id, tanggal 30 Mei 2017, secara utuh berikut ini.

MOBIL berhenti di dekat Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hidayat di Kabupaten Jember, Jawa Timur, menjelang sore (16/6/2014). Seorang lelaki turun dari mobil dan menuju ke kumpulan santri di halaman ponpes. Dia menitipkan sebuah paket untuk K.H. Imam Haramain, pengasuh Ponpes. Lelaki itu pergi tanpa memberi tahu identitasnya.

Imam lalu datang membuka paket. Dia kaget kala melihat isi paket. “Setelah saya lihat, ternyata tabloid ini lagi. Kali ini saya dapat 25 eksemplar,” kata Imam, dikutip Kompas.com, 17 Juni 2014. Ponpes itu tiga kali mendapat paket Obor Rakyat. Isinya sama, menjelek-jelekkan calon presiden (capres) Jokowi.

Obor Rakyat kali pertama terbit awal Mei 2014 dan tersebar ke sejumlah pesantren di Jawa. Sampul edisi perdana, bertajuk “Capres Boneka”, menampilkan gambar Jokowi mencium tangan Megawati. Edisi kedua berjudul “PDIP Partai Salib” dan edisi ketiga “1001 Topeng Pencitraan”. Dewan Pers menyebut Obor Rakyat bukan produk jurnalistik.

Belum reda ramai-ramai soal Obor Rakyat, masyarakat riuh dengan peredaran selebaran Pink yang berisi serangan terhadap capres Prabowo Subianto. Jumlah halamannya lebih tipis daripada Obor Rakyat. Tapi cukup bikin tim sukses capres Prabowo Subianto kalang-kabut, menyebut selebaran ini sejenis kampanye hitam.

Polisi dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berjanji mengusut peredaran dua terbitan gelap itu.

Tanpa Aturan Kampanye

Saling serang, saling kecam, saling hina, bahkan saling fitnah bukan hal baru dalam pemilu. Bedanya, dulu lebih terang-terangan. Tak perlu bersembunyi di balik nama redaksi atau alamat kantor fiktif. Ini tersua dalam pemilu 1955. Belum banyak larangan kampanye saat itu.

“Adapun bentuk kampanye yang dilarang adalah segala bentuk penyiaran baik lisan maupun tertulis yang merugikan kedudukan presiden dan wakil presiden,” tulis Alfitra Salamm dalam “Pemilihan Umum dalam Perspektif Sejarah” termuat di Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru suntingan Syamsuddin Haris.

Sebagian besar pelakon propaganda adalah partai-partai besar semacam Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Agitasi mereka tak jauh dari benturan ideologi. Kampanye program partai pun tenggelam.

PNI selalu menilai Masyumi bercita-cita mendirikan negara Islam. Koran mereka, Suluh Indonesia, beberapa kali memuat penolakan terhadap gagasan negara Islam. Sebagian bersifat ilmiah, sisanya lebih mirip asumsi dan celaan belaka. Melulu soal potong tangan, poligami, cadar, atau tirai pemisah antara lelaki dan perempuan.

Sukarno ikut mengipasi polemik negara Islam pada Januari 1953. “Ia mengeluarkan peringatan bahwa upaya menjadikan Indonesia negara Islam akan disusul dengan pemisahan diri wilayah-wilayah tertentu,” tulis Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955.

Melalui KH Isa Anshary, ketua Masyumi Jawa Barat, Masyumi mengecam pandangan PNI dan Sukarno. Menurut Isa, perjuangan negara berdasarkan Islam tak bertentangan dengan Pancasila. Dia juga melontarkan agitasi ke para pemimpin partai-partai politik bukan muslim. Dalam suatu pidato, Isa mencap mereka sebagai “munafik” dan “kafir”. Karuan tokoh partai lain terusik.

SIMAK JUGA :  Setelah Pembacaan Sumpah, Pj. Bupati Serahkan SK dan Lantik CPNS Mentawai

DN Aidit, ketua umum PKI, terpancing berkomentar. Dia gerah dengan pengkaplingan dan penafsiran Islam oleh Masyumi. “Nabi Muhammad SAW bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi… Masuk Masyumi itu haram sedangkan masuk PKI itu halal,” kata Aidit dalam rapat umum PKI di Malang pada 28 April 1954, dikutip Abadi, 17 Mei 1954.

Saling kecam dan fitnah berlanjut ke media massa. Hikmah, majalah Masyumi, mempunyai rubrik “Kawan dan Lawan”. Isinya antara lain tuduhan bahwa PKI hendak mendirikan kediktatoran. Abadi, koran Masyumi, tak kalah gencar menjelek-jelekkan PKI.

Abadi edisi 22 April 1955 membeberkan kisah anak kecil yang membawa sobekan Alquran berstempel PKI. Parahnya dalam sobekan itu ada tulisan “Masjumi seperti Asu”. Kejadian itu benar ada atau tidak, urusan belakang. Yang penting bisa membangkitkan emosi massa.

Menjelang Pemilu 1955, tensi politik meningkat. PKI menuduh Masyumi sebagai partai penebar teror, antidemokrasi, dan berkomplot dengan pemberontak Darul Islam Kartosuwirjo. PKI juga menuduh Amerika Serikat mengendalikan Masyumi. Sebaliknya, orang Masyumi bilang PKI antek Moskow. Maka mereka menyebarkan selebaran bertuliskan “Memilih palu arit berarti menyerahkan Indonesia kepada kekuasaan asing”.

Taktik propaganda NU berbeda dari PKI dan Masyumi. Propaganda mereka lebih halus dan menumpang partai lain, tapi tetap memojokkan. “Kalau Masyumi menang akan terjadi kekerasan; kalau PKI menang juga akan timbul kekerasan… Kalau tidak ingin terjadi kekerasan pada waktu pemilihan umum, pilihlah PNI (atau NU),” tulis Herbert Feith.

Propaganda Orde Baru

Pemilu masa Orde Baru menampilkan pelakon propaganda tunggal: pemerintah. Dalam pemilu 1971, mereka mengejewantah sebagai Golongan Karya (Golongan Karya). Pemilu 1971 penting bagi Golkar untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru. Sadar sebagai pemain baru dalam Pemilu, Golkar menghalalkan segala cara untuk menang. Antara lain menggunakan kekuatan Pertahanan Sipil (Hansip).

“Kami mengerahkan mereka dari rumah ke rumah menyampaikan pesan kepada keluarga: ‘Hanya Golkar yang bisa menjamin stabilitas dan pembangunan. Kalau anda pilih partai lain, berarti Anda antimiliter dan mungkin saja pro-PKI,’” tulis Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru.

Propaganda Golkar berlanjut pada Pemilu 1977. Lawan mereka kini cuma dua Organisasi Peserta Pemilu (OPP): Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), keduanya hasil fusi beberapa partai. Golkar menang lagi. Begitu seterusnya hingga Pemilu 1997.

“Hantu PKI” menjadi senjata ampuh penguasa untuk menjegal lawan-lawannya. Penelitian Khusus (litsus) menjadi alat militer dan pemerintah Orde Baru untuk membersihkan aparatur negara, sipil maupun militer, dari apa yang mereka sebut anasir komunis. Ia juga dipakai untuk menekan oposisi. Melalui kebijakan “bersih diri dan bersih lingkungan”, beberapa calon legislatif dari PDI dan PPP dinyatakan tak lulus litsus.

Sejak pemilu 2004, untuk kali pertama kampanye hitam bukan hanya menyasar partai, tapi juga calon presiden. Sebab baru kali ini pula orang Indonesia menyelenggarakan pilpres langsung. (***)

Sumber historia.id

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *