Hukum Manusia dan Hukum Tuhan

  • Bagikan

Oleh : Abdillah Toha

Mencuri atau korupsi itu melanggar hukum manusia dan hukum Tuhan. Bukan itu saja. Yang lain seperti menipu, menghina, melakukan kekerasan dan lain-lain juga melanggar dua hukum itu .

Beda kedua jenis hukum itu adalah bahwa dalam hukum buatan manusia pelakunya bisa tertangkap dan bisa juga tidak tertangkap sedang hukuman hanya diberlakukan bagi yang tertangkap. Pada hukum Tuhan, pelakunya selalu “tertangkap” oleh Yang Maha Mengetahui tapi hukumannya ditunda di akhirat nanti.

Baiklah kita fokus ke satu tindak pidana saja yakni korupsi. Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia masuk kategori juara dunia dalam korupsi. Juga banyak negeri muslim lain seperti Saudi, Pakistan, Bangladesh dll yang penguasanya korup dan semena-mena. Sedangkan di negeri2 non Muslim dan negeri2 yang “tak bertuhan” seperti Singapore, Jepang, Amerika, Swedia, dll tindak korupsi ada tapi tidak dominan.

Sebagai konsekwensi dari kenyataan ini timbul pertanyaan. Apakah beragama itu berpengaruh positif dalam menahan nafsu manusia agar tak berlaku curang dan koruptif, atau justru sebaliknya, agama khususnya Islam, mendorong dan memberi peluang melakukan korupsi karena sering kita dengar tausiyah yang mengutip ayat2 Quran bahwa Allah Maha Pengampun dan akan mengampuni semua dosa manusia asalkan bersedia bertobat.

Itu semua bisa terjadi karena hukuman Tuhan yang tertunda, sehingga masih banyak waktu untuk minta “grasi” kepada Tuhan dan grasi itu pasti akan diberi.

Ada juga keyakinan umum bahwa haji atau umroh (yang mabrur) akan menghapus seluruh dosa-dosa kita. Yang lebih gawat lagi di bulan-bulan Rajab, Sya’ban, atau Ramadhan sering kita dengar tausiyah dan kutipan hadis-hadis bahwa dengan membaca dzikir tertentu atau puasa atau amalan ibadah tertentu, seluruh dosa2 kita yang lalu dan mendatang akan dihapus Allah.

SIMAK JUGA :  Bubarkan Ormas Yang Radikal, Intolerans Yang Tidak Taat Hukum

Dengan kata lain, umat Islam umumnya masih berkeyakinan bahwa doa dan ibadah ritual akan menghapus dosa2 muamalah. Mungkinkah semua ini kesalahan besar para ulama yang selama beratus tahun lebih menekankan pada hablun minallah daripada hablun minannas. Bahwa menjauhi mencuri dan menyakiti orang bukan bagian rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima.

Seorang masih tetap dianggap muslim dan mukmin walau dia korupsi atau membunuh orang yang tak bersalah asalkan dia masih menjalankan shalat dan ibadah wajib lain.

Dengan demikian, dapatkah kita mengatakan bahwa keberagamaan seseorang atau masyarakat tidak menjamin dia atau mereka menjadi lebih bermoral dan beradab? Para dai dan ulama barangkali perlu mulai mengubah cara dan pendekatan dakwahnya dengan fokus kepada moralitas dan keadaban daripada menekankan pada sisi-sisi doa, ritual, dan sejenisnya.

Atau barangkali jalan keluarnya menjadikan hukum Allah tidak ditunda tetapi diberlakukan sekarang dgn memberlakukan hukum hudud seperti rajam, potong tangan, qishash dan lainnya seperti terbukti efektif di Saudi, meski kita tahu disana hukum itu diberlakukan hanya utk rakyat biasa dan tidak berlaku bagi para pangeran dan petinggi negara. Korupsi dan pencurian uang rakyat justru dilakukan oleh para penguasa tanpa sanksi hukum.
Wallah a’lam.

5 April 2018

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *