Defisit APBN Capai Rp179 T, Ekonomi Minus 3,1 Persen

  • Bagikan

SRI MULYANI

Jakarta, Harianindonesia.id –  Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp179,1 triliun atau 1,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per 31 Mei 2020.

Realisasi defisit tersebut merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir pada periode yang sama. Tercatat, defisit hanya Rp93,5 triliun atau 0,63 persen dari PDB pada 31 Mei 2018. Lalu, defisit melebar menjadi Rp125,8 triliun atau 0,79 persen dari PDB pada 31 Mei 2019.

“Kenaikan defisit dibandingkan tahun lalu terjadi karena semua penerimaan negara mengalami kontraksi,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers, Selasa (16/6) seperti dikutip CNNIndonesiacom

Pada akhir bulan lalu, penerimaan negara baru terkumpul Rp664,3 triliun atau 37,7 persen dari target APBN 2020 perubahan yang diatur dalam dalam Perpres 54/2020, Rp1.760,9 triliun. Dibandingkan tahun lalu raupan tersebut turun 9,1 persen.

Khusus penerimaan pajak, setoran tercatat Rp444,6 triliun atau merosot 10,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara, penerimaan bea dan cukai terkumpul Rp81,7 triliun atau tumbuh 12,4 persen secara tahunan.

“Kemudian, PNBP mengalami kontraksi. Kami kumpulkan Rp136,9 triliun atau 46 persen dari target Perpres 54/2020. Terjadi kontraksi 13,6 persen dari tahun lalu,” ujarnya.

Di sisi lain, belanja negara tercatat sebesar Rp843,9 triliun atau 32,3 persen dari alokasi APBN 2020 perubahan, Rp2.613,8 triliun. Dengan realisasi tersebut, belanja negara hingga akhir Mei turun dari periode yang sama tahun lalu sebesar 1,4 persen.

Ia merinci, belanja Kementerian/Lembaga (K/L) telah terealisasi Rp270,4 triliun atau merosot 6,2 persen secara tahunan, Sementara, belanja non K/L naik 10,1 persen menjadi Rp267 triliun.

Selanjutnya, realisasi transfer ke daerah tercatat Rp306,6 triliun atau 40,2 persen dari alokasi. Secara tahunan, penyalurannya turun 5,7 persen.

Namun demikian, khusus penyaluran dana desa melonjak 41,3 persen menjadi Rp28,9 triliun. Hal ini tak lepas dari pemberian bantuan langsung tunai untuk meredam dampak pandemi.

Lebih lanjut, keseimbangan primer minus Rp33,9 triliun hingga 31 Mei 2020 atau bertolak belakang dengan posisi tahun lalu yang masih positif Rp1,3 triliun.

SIMAK JUGA :  Jokowi Resmi Larang Mudik Lebaran, 68 Persen Publik Setuju

Sementara, pembiayaan anggaran tercatat sebesar Rp356,1 triliun. Angkanya melonjak lebih dari dua kali lipat periode yang sama tahun lalu Rp159,9 triliun.

Ekonomi Minus 3,1 persen

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi kuartal kedua ini minus 3,1 persen. Pertumbuhan negatif dikarenakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diberlakukan di banyak daerah yang memberi kontribusi besar terhadap ekonomi nasional.

“Meskipun pada kuartal I positif, namun kuartal kedua kami perkirakan akan terjadi kontraksi karena PSBB. Kami perkirakan negatif, minus 3,1 persen,” ujarnya dalam press conference APBN Kita, Selasa (16/6).

Menurut Ani, panggilan akrabnya, Indonesia sama halnya dengan banyak negara di dunia yang ekonominya terdampak pandemi virus corona.

Di kawasan ASEAN, pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal II juga diprediksi terjadi di Singapura dan Malaysia, yaitu masing-masing minus 6,8 persen dan 8,0 persen.

Sementara, di negara maju, seperti AS diproyeksikan minus 9,7 persen, Inggris minus 15,4 persen, Jerman minus 11,2 persen, Prancis minus 17,2 persen, dan Jepang minus 8,3 persen.

“Dengan pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal II, sangat berat untuk jaga ekonomi tetap positif. Semua lembaga membuat proyeksi ekonomi negatif, hanya sedikit yang positif,” tutur Ani.

Pertumbuhan negatif produk domestik bruto (PDB) banyak negara itu tak terlepas dari peningkatan kasus orang terinfeksi corona usai pembukaan aktivitas atau kegiatan. Ia mencontohkan AS yang mencatat kematian lebih dari 115 ribu orang dengan 2,16 juta kasus positif.

Tak terkecuali di Indonesia yang mencatat kenaikan jumlah kasus orang terinfeksi covid-19, terutama di DKI Jakarta dan Jawa Timur. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus positif mencapai 39,294. Di antaranya 2.198 orang meninggal, dan 15.123 orang sembuh.

“Kami harap ini tidak menyebar lebih luas lagi, karena akan menyebabkan kesulitan normalisasi,” tandasnya.

(awe)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *